WALHI Desak Jokowi Cabut Aturan Pelonggaran Limbah Batu Bara dan Sawit
WALHI minta pemerintah cabut Peraturan Pemerintah (PP) No.22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No.22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Satu di antara peraturan pemerintah yang terdampak dari PP No.22/2021 ini adalah PP No.101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3).
Dalam Lampiran XIV dari PP No.22/2021 ini, beberapa limbah B3 dikategorikan menjadi limbah non-B3, seperti FABA (fly ash dan bottom ash) PLTU batu bara, SBE (spent bleach earth) industri minyak nabati/hewani, slag peleburan besi, slag peleburan nikel, dll.
Baca juga: Jokowi Hapus Limbah Sawit dan Batu Bara dari Daftar Berbahaya, Begini Sikap Pengusaha dan Walhi
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati mengatakan PP No.22/2021 ini melonggarkan aturan yang meningkatkan potensi pencemaran udara dari limbah B3.
"Di tengah masih belum terkendalinya pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah malah melonggarkan aturan yang meningkatkan potensi pencemaran udara dari limbah B3," ujar Nur melalui keterangan tertulis, Senin (15/3/2021).
Nur mengungkapkan berdasarkan penelitian Universitas Harvard, penderita Covid-19 yang tinggal di daerah-daerah dengan pencemaran udara tinggi memiliki potensi kematian lebih tinggi dibandingkan penderita Covid-19 yang tinggal di daerah yang kurang terpolusi.
"Apa lagi, kelompok masyarakat yang berdiam di sekitar PLTU batu bara kebanyakan adalah masyarakat yang rentan secara sosial-ekonomi. Ini adalah salah satu aksi kebijakan pemerintah yang sangat tidak etis," ucap Nur.
Baca juga: Peduli Lingkungan, Walhi Ajak Pengendara Motor Naik Kelas
Sementara itu, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional WALHI Dwi Sawung mengungkapkan pemerintah seolah memberikan kesan bahwa limbah B3 hanya dapat dimanfaatkan jika dikategorikan sebagai limbah non-B3.
Padahal, limbah B3 masih dapat dimanfaatkan dengan melalui berbagai pengujian karakteristik yang spesifik berdasarkan sumber masing-masing limbah B3 tersebut, sebagaimana diatur pada PP No.101 tahun 2014.
“Pengubahan limbah-limbah B3 menjadi limbah non-B3 secara keseluruhan tanpa melalui uji karakteristik setiap sumber limbah spesifik, menunjukkan pemerintah telah bertindak secara sembrono dan membebankan risiko kesehatan di pundak masyarakat," tutur Dwi.
Padahal, menurut Dwi, selama ini pemerintah belum berhasil melakukan pengawasan secara seksama, menegakkan hukum secara efektif, dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
Baca juga: Petani Temukan Limbah Medis Berupa Suntikan dan Infus di Persawahan Desa Mlati Kidul Kudus
Sebagai contoh, kasus pembuangan limbah FABA dan SBE di Panau, Sulawesi Tengah.
Penimbunan FABA mengakibatkan masyarakat terkena dampak pencemaran dari abu batu bara yang ditimbun sembarangan.
Korban terkena gangguan pernapasan, bahkan sudah ada yang meninggal.
Contoh lainnya, di beberapa tempat antara lain di Kalimantan Tengah dan Jakarta, pembuangan limbah pengolahan minyak sawit mengakibatkan ikan-ikan mati dan warga mengalami gatal-gatal dan gangguan kulit.
Uji sample yang dilakukan selama ini oleh pihak berwenang tidak pernah diperlihatkan hasilnya, dan dilakukan tanpa melibatkan masyarakat terdampak pencemaran tersebut.
Pembuangan limbah B3 dengan volume besar, yang sering kali dilakukan secara diam-diam, atau dibuang sembarangan, akan makin dipermudah oleh PP No.22 tahun 2021.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.