Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Di Video Podcast SBY Curhat Soal 'Sahabat' yang Melukai: Melukai Orang-orang yang Setia

Presiden ke-6 RI, SBY mengunggah video podcast, berisi curhatan yang bercerita tentang sejumlah sahabat yang melukai.

Penulis: Inza Maliana
Editor: Garudea Prabawati
zoom-in Di Video Podcast SBY Curhat Soal 'Sahabat' yang Melukai: Melukai Orang-orang yang Setia
istimewa
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Hatimu pasti luka, sedih dan terhina. Betapa partai politik yang kau gagas berdirinya, serta pernah kau pimpin dan besarkan, kini harus mendapatkan perlakuan seperti ini.

Sesuatu yang ketika kuasa ada dalam dirimu, ada dalam tanganmu, perlakuan tak terpuji seperti itu tak pernah kau lakukan.

Tapi, itulah hidup. Itulah takdir. Itulah dunia kita.

Namun, kau tak perlu berkecil hati.

Tidakkah kau telah melalui berbagai cobaan dan ujian, dan kau mampu mengatasinya? Ingat bersama kesukaran ada kemudahan.

Setiap masalah ada solusinya"

Kuyakini ini tuntunan yang pertama.

Berita Rekomendasi

Aku masih khusyuk dalam perenungan diri. Dialog dalam bathinku yang sunyi terus berlangsung. Bisikan nurani juga terus berlanjut..

"Bagaimana dan langkah seperti apa yang patut engkau lakukan?

Kalau itu yang kau tanyakan, sebenarnya kau telah menemukan jawabannya.

Tidakkah para pemimpin partai yang tengah diobok-obok sekarang ini telah berketetapan hati untuk berjuang, guna mempertahankan kedaulatan, kehormatan dan eksistensi perserikatan yang sama-sama kalian cintai.

Langkahmu sudah benar. Itu misi yang suci.

Itu juga tanggung jawab terhadap jutaan anggota partai yang sangat tidak adil jika mereka kehilangan masa depannya.

Apalagi kau sendiri telah mengatakan bahwa misi suci itu hendak dilaksanakan secara damai, berdasarkan konstitusi dan merujuk pada pranata hukum yang berlaku.

Itulah jalan yang insya Allah akan senantiasa dirahmati Tuhan.

Betapa pun besarnya amarah kalian, kau memilih untuk tidak memerangi kemungkaran dengan cara-cara yang sama mungkarnya.

Sebuah akhlak dan peradaban politik yang mendidik dan meneduhkan"

Kuyakini, inilah tuntunan yang kedua.

Aku makin khusyuk dalam kontemplasi yang kulakukan. Malam semakin larut. Seolah bumi berhenti berputar.

Desiran angin dan pepohonan di depan rumahkupun tak lagi kudengar.

Aku bersyukur, karena semua pertanyaan bathin yang kusimpan dalam hati sanubariku... satu-satu telah mendapatkan jawabannya.

"Era kini, adalah era politik pasca kebenaran. Artinya, politik tanpa disertai kebenaran.

Banyak fitnah, pembunuhan karakter, berita bohong serta muslihat dan tipu daya. Banyak yang berduka dan menjadi korban.

Terkadang uang dan kekuasaan menyatu, menjelma menjadi kekuatan maha dahsyat yang bisa melindas dan menggilas siapa saja.

Menghalalkan segala cara bukanlah sebuah aib dan pertanda matinya etika.

Di tengah suasana seperti itu, engkau dan para pemimpin partai yang saat ini tengah mencari keadilan, mesti berbangga karena kalian tak tergoda untuk mudah berburuk sangka. Menuduh sembarangan.

Sifat yang tidak suudzon, adalah sifat yang terpuji.

Sebagian orang memang mengatakan bahwa jika kita hidup di zaman edan, jangan bersikap dan bertindak waras karena pasti tidak mendapatkan apa-apa.

Namun, jalan seperti itu bukan yang kau pilih.

Akibatnya, kau hadapi satu keniscayaan... partai yang kau sayangi sering terguncang dan tersandung-sandung. Itu konsekuensinya.

Namun, jika itu yang kau pilih, yakinkan semuanya kuat, tabah dan tegar, baik lahir maupun bathin.

Hidup tak seindah bulan purnama. Hidup memerlukan kesabaran dan pengorbanan".

Inilah tuntunan ketiga yang aku yakini.

Renunganku makin dalam. Aku tak ingat lagi, sudah berapa lama aku berada dalam dunia kalbu yang penuh keheningan itu. 

Alam pun seakan menemani dan ikut berempati.

"Aku tahu ada keresahan yang ada dalam pikiranmu. Bagaimana jika hukum tidak berpihak kepada yang benar.

Bagaimana pula jika ada jarak yang menganga antara hukum dan keadilan.

Kau tidak berdosa jika mencemaskan itu, karena kau berpijak di alam nyata. Bukan dalam dunia legenda yang serba indah dan penuh pesona.

Namun, yakinlah bahwa di negeri ini masih banyak yang berhati mulia.

Saudara-saudaramu, di pinggir-pinggir kota dan di pelosok-pelosok desa, juga ikut berempati dan berdoa.

Ikut merasakan apa yang kau rasakan. Dengan semuanya ini, percayalah bahwa para pemegang palu keadilan akan mendapatkan tuntunan Tuhan untuk senantiasa bertindak adil dan benar".

Kembali kuyakini ini adalah tuntunan yang keempat.

Ketika waktu telah bergeser perlahan menyambut datangnya fajar di dini hari, aku bagai mendapatkan isyarat bahwa hampir rampung jawaban yang kumohonkan.

Jawaban terhadap istikharah yang aku lakukan.

Aku biasa memadukan antara olah nalar, intuisi dan tuntunan Yang Maha Kuasa.

Terlalu sombong jika manusia merasa memiliki segalanya, dan tak menyadari kelemahan dan kekurangannya.

Inilah bisikan kalbu terakhir, atau yang kelima, dalam perenunganku di malam yang syahdu itu.

"Kau harus bersyukur ketika jagad raya mengamini kata-katamu bahwa tak ada jalan yang lunak untuk meraih cita-cita yang besar.

Juga tak ada yang serba mudah untuk mengatasi masalah yang berat.

Terhadap itu semua, sejarah telah mencatat bahwa yang kau katakan itu juga telah kau jalankan dalam perjalanan hidupmu.

Saat ini kau juga tengah melakukannya lagi. Artinya kau bukan termasuk golongan yang mudah menyerah.

Semangat dan tekadmu tak mudah patah. Ini modal penting bagimu dan semua pemimpin partai, dalam meraih sukses di hadapan.

Barangkali kau sering merasa lemah ketika menghadapi yang kuat. Apalagi sangat kuat.

Namun, jangan lupa... jika Tuhan menakdirkan, yang lemah-lemah itu akan diangkat menjadi yang kuat.

Sementara itu, barangkali kau juga merasa sangat berat untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan yang sejati.

Seolah jalan di hadapanmu tertutup. Tak ada yang terbuka. Ada jurang yang sangat dalam dan tebing tinggi yang amat terjal.

Namun percayalah, hukum kehidupan mengajarkan bahwa pada akhirnya kebenaran dan keadilan akan datang.

Datangnya mungkin lambat, tapi pasti"

Di penghujung bisikan nurani itu aku segera terjaga. Aku tengadahkan tanganku seraya berucap "terima kasih Tuhan".

Betapa tenteram rasa hatiku ketika Sang Pencipta kuyakini telah menguatkan hati dan pikiranku.

Aku dilahirkan untuk mencintai kedamaian. Bukan pertentangan dan kekerasan.

Namun, bagaimana pun aku lebih mencintai kebenaran dan keadilan.

Jika kebenaran dan keadilan tegak, damailah hati kita. Damailah negara kita. Damailah dunia kita.

Ya Allah, kabulkanlah permintaanku akan hadirnya kedamaian, kebenaran dan keadilan di negeri tercinta ini.

KepadaMu aku berserah diri, dan kepadaMu aku memohon pertolongan.

Cikeas, 15 Maret 2021.

(Tribunnews.com/Maliana)

 
Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas