Dualisme Partai Demokrat, Pengamat: Keputusannya Ada di Kemenkumham
"Keputusan ada di Kementerian Hukum dan HAM. Kalau saya bilang legal maka akan ada yang menganggap ilegal begitu juga sebaliknya."
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menekankan, legal atau tidaknya Demokrat versi KLB ditentukan oleh Kemenkum HAM dan juga melihat AD/ART dari partai ini pada 2001 silam.
"Sebetulnya kalau KLB (dianggap pemerintah) ilegal sudah dibubarkan polisi dan juga sudah dihentikan tapi ini tetap berlanjut. Awalnya saya sudah sampaikan kubu Moeldoko bakal menang lantaran penggugat dari kubu KLB Sumut tak lain kepala KSP," katanya.
Ia mencontohkan, memang beberapa kali terjadi kasus yang sama saat Rommy Romaharmuziy dan Djan Faridz tak disebut ilegal begitu pula di era dualisme PKB Cak Imin dan mendiang Gus Dur.
Baca juga: Dipecat Jadi Kader, Eks Ketua DPC Partai Demokrat Halmahera Utara Gugat AHY Bayar Rp 5 Miliar
Memang, sambungnya, bagi kubu AHY menyebut KLB ini ilegal atau abal-abal tapi dari Kementerian Hukum dan HAM tak menyebut ini ilegal.
"Jadi tinggal mereka melihat dan mempelajari berkas keduanya dan memutuskan sikap. Tapi bisa saja kubu Moeldoko memakai AD/ART versi yang lama dan AHY versi yang baru."
"Keputusan ada di Kementerian Hukum dan HAM. Kalau saya bilang legal maka akan ada yang menganggap ilegal begitu juga saat saya katakan ilegal kubu KLB yang dimotori Jhoni Marbun dan koleganya pasti menyebut KLB ini sah. Tapi kalau tak dianulir berarti legal," tandasnya.
Dinasti politik
Konflik di tubuh Partai Demokrat masih berlanjut. Kubu Ketua Umum (Ketum) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kubu Ketum Moeldoko sama-sama mengklaim bahwa merekalah yang berhak atas kepengurusan partai berlambang bintang mercy tersebut.
Terlepas dari itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menegaskan, dinasti politik sesungguhnya tak bagus diterapkan di partai politik yang berkonsep modern.
"Karena partai modern bukan bersandar pada dinasti politik. Tapi pada kekuatan dalam membangun dan memperkuat pelembagaan partai politik, seperti membangun demokratisasi di internal partai, membuat kaderisasi yang baik, rekrutmen politik yang menjungjung nilai-nilai prestasi, dan lain-lain," jelas Ujang.
"Dinasti politik akan membunuh pelembagaan partai politik. Karena yang berkuasa hanya dari klan tertentu, dari keluarga tertentu. Tidak terbuka untuk semua," lanjut Ujang.
Akibatnya, tambah Ujang, bukan tidak mungkin akan timbul rasa iri dan perlawanan dari kader-kader yang merasa ikut andil dalam membesarkan partai, namun tidak memperoleh posisi penting.
"Karena yang berkuasa di partai tersebut dari keluarga tertentu saja. Bisa melakukan perlawanan terselubung atau pun terang-terangan. Dan bahkan keluar partai. Tapi semua itu adalah pilihan," tukas Ujang.
Bantah Dinasti Politik