Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Apa Itu JAD? Organisasi Teroris Berafiliasi ke ISIS, Telah Sah Dibekukan Pengadilan

Organisasi teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) kembali menjadi sorotan setelah kasus bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral Makassar. Apa itu JAD?

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Sri Juliati
zoom-in Apa Itu JAD? Organisasi Teroris Berafiliasi ke ISIS, Telah Sah Dibekukan Pengadilan
Tribunnews/Irwan Rismawan
Anggota Densus 88 membawa terduga teroris dari Makassar setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (4/2/2021). Sebanyak 26 orang terduga teroris yaitu 19 orang dari Makassar dan 7 orang dari Gorontalo yang tergabung dalam Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dibawa ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut oleh Densus 88. 

Selain itu, Saefullah mengontrol beberapa pelaku yang ada di Indonesia, antara lain tersangka Yoga dari JAD Kalimantan Timur yang ditangkap Juni 2019.

Yoga berperan menggantikan Andi Baso, sebagai jembatan penghubung antara kelompok ISIS atau JAD di Indonesia dan Filipina.

Menurut Dedi, Saefullah berencana mengirimkan uang kepada Yoga untuk membeli senjata di Filipina, untuk nantinya dikirim ke Indonesia.

Saefullah juga disebut sebagai orang yang mengatur perjalanan Muhammad Aulia beserta 11 orang Indonesia lain yang berencana berangkat ke Khorasan Afghanistan.

Namun, mereka dideportasi dari Bangkok dan kemudian ditangkap Densus 88 di Bandara Kualanamu, Medan.

Mabes Polri mengatakan Saefullah alias Daniel alias Chaniago mendapatkan aliran dana dari luar negeri guna melakukan aksi terorisme.

Saefullah mendapatkan aliran dana dari 12 oknum berbeda, yang ditransfer dari lima negara berbeda pula.

BERITA TERKAIT

"Saudara Saeful ini menerima beberapa aliran dana, ini aliran dana dari negara Trinidad Tobago ada tujuh kali, dari Maldives ada satu kali, Venezuela satu kali, Jerman dua kali dan Malaysia sekali," ujar Dedi, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (23/7/2019).

Ia menyebut Saefullah tercatat mulai mendapatkan aliran dana tersebut dalam kurun waktu Maret 2016 hingga September 2017.

Berdasarkan penyelidikan kepolisian, adapun dana yang terkumpul $ 28.921.89 atau Rp 413.169.857 yang ditransfer melalui Western Union.

"Seluruhnya terkumpul Rp413.169.857,-. Mereka menggunakan sistem aliran dana western union," ucapnya.

Berikut nama oknum yang mengirimkan aliran dana kepada Saefulah :

1.Yahya Abdul Karim dari Trinidad & Tobago (4 kali);

2. Fawaaz Ali dari Trinidad & Tobago;

3. Keberina Deonarine dari Trinidad & Tobago;

4. Ahmed Afrah dari Maldives;

5. Ricky Mohammed dari Trinidad & Tobago (2 kali);

6. Ian Marvin Bailey dari Trinidad & Tobago;

7. Pedro Manuel Morales Mendoza dari Venezuela;

8. Mehboob Suliman dari Jerman;

9. Simouh Ilyas dari Jerman;

10. Muslih Ali dari Maldives;

11. Furkan Cinar dari Trinidad & Tobago;

12. Jonius Ondie Jahali dari Malaysia.

Kata pengamat

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh, Al Chaidar, meyakini pelaku pengeboman di depan Gereja Katedral Makassar merupakan bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi ke ISIS.

Analisisnya didasarkan pada sasaran pengeboman yang serupa dengan insiden di Surabaya, Jawa Timur, pada 2018 dan Jolo, Filipina, pada 2019: sama-sama menyasar gereja Katolik.

Al Chaidar menduga, serangan tersebut merupakan balas dendam kelompok JAD atas penangkapan puluhan anggotanya dan tewasnya dua orang dari kelompoknya oleh Densus 88 Antiteror Polri pada awal Januari lalu di Makassar.

"Jadi daripada tertangkap atau tewas maka mereka segera melakukan serangan amaliyah," ujar Al Chaidar kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, hari Minggu (28/03/2021).

"Mereka menyasar gereja karena mereka kelompok Wahabi Takfiri yang christophobia atau tidak menyukai orang-orang non-Muslim," sambungnya.

'Amaliyah jelang bulan Ramadan'

Senada dengan Al Chaidar, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah, juga menduga pelaku pengeboman di Gereja Katedral Makassar terkait dengan kelompok JAD yang kerap menyasar tempat ibadah.

Namun demikian, aksi itu tidak semata dilakukan atas dasar balas dendam tapi sebagai "amaliyah (aksi) menjelang bulan Ramadan".

"Mereka mengganggap bulan suci Ramadan adalah waktu yang tepat karena di bulan-bulan inilah amal dilipatgandakan," tutur Muhammad Syauqillah kepada BBC News Indonesia.

"Ini bulan yang sakral untuk kelompok itu."

Tindakan pengeboman jelang bulan Ramadan, katanya, juga pernah terjadi pada 2019 lalu di pos pengamanan Tugu Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Persebaran kelompok JAD meluas di 19 provinsi

Muhammad Syauqillah dan Al Chaidar sepakat bahwa jumlah anggota kelompok JAD di Sulawesi Selatan masih cukup banyak kendati puluhan orangnya telah ditangkap Densus 88 Antiteror.

Sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya serangan lanjutan.

"Melihat persebaran jumlah mereka, akan ada serangan lain di pelbagai tempat dan kemungkinan di tempat-tempat yang ada Gereja Katedralnya apakah di Medan, Palembang, dan sebagainya," imbuh Al Chaidar.

Dia juga mengatakan perekrutan kelompok JAD di Indonesia sangat cepat dan jumlahnya berkali lipat.

Ia mencontohkan, jika dahulu dalam satu bulan mereka bisa merekrut dua hingga tiga simpatisan baru, maka sekarang mencapai puluhan orang.

Karena itulah, Al Chaidar menilai penangkapan besar-besaran yang dilakukan Densus 88 Antiteror Polri hanya merepotkan aparat keamanan tapi tak cukup efektif membendung masifnya apa yang disebut sebagai ideologi trans-nasional Wahabi Takfiri.

Yang harus segera dilakukan pemerintah, katanya, adalah mengintensifkan gerakan kontra wacana ideologi trans-nasional Wahabi di Indonesia.

Caranya melibatkan ahli keagamaan dari pelbagai universitas.

Sebab berdasarkan pengamatannya, sel aktif kelompok JAD saat ini sudah menyebar di 19 provinsi dari sebelumnya hanya di 18 provinsi.

"Pemerintah dalam hal ini sepertinya tidak punya imajinasi untuk membendung ideologi itu. Padahal banyak ahli keagamaan seperti di UIN, UI, UGM yang memiliki kemampuan untuk counter-discourse."

"Kalau penangkapan-penangkapan terus enggak akan habis-habis."

Aktif di media sosial

Mabes Polri mengatakan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) lebih terstruktur di dunia maya daripada di lapangan.

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan hal tersebut berbeda dengan kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) yang lebih terstruktur di lapangan.

"JAD tidak terstruktur di lapangan, beda dengan JI yang terstruktur di lapangan. Mereka terstrukturnya secara virtual," ujar Dedi, di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2019) lalu.

Ia menjelaskan kelompok JAD akan memberi kabar terlebih dahulu apabila hendak melakukan aksi amaliyah.

Kabar itu diberikan melalui media sosial, dimana Telegram menjadi salah satu media sosial yang dimanfaatkan kelompok teroris tersebut.

"Intensitas komunikasinya di media sosial terstruktur dan sistematis. Kalau mau melakukan amaliyah, mereka akan sampaikan di Telegram maupun media sosial lainnya, misalnya 'Saya akan melakukan amaliyah pada hari ini'," kata dia.

Tapi dalam komunikasinya dia tidak akan menyebutkan secara detail siapa yang menjadi targetnya termasuk waktu dan tempatnya.

"Dia cukup men-declare akan melakukan amaliyah, mohon doanya, langsung dilakukan," katanya.

Lebih lanjut, mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu menuturkan bahwa aksi amaliyah yang dilakukan anggota kelompok tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing.

"Bergerak melakukan amaliyah dengan kemampuan masing-masing, kalau kemampuan membuat bom ya contohnya suicide bomber," katanya.

Berita terkait Bom di Makassar

Sumber: Tribunnews.com/Tribun Jabar/BBC

(Tribunews.com/ Chrysnha, Dennis Destryawan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas