BIN Beberkan Pola Penyebaran Radikalisme Melalui Media Sosial yang Targetkan Anak Muda
Penyebaran konten tersebut, kata Wawan, menyasar utamanya anak muda berusia 17 sampai 24 tahun.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto membeberkan pola penyebaran radikalisme melalui media sosial yang menargetkan anak muda.
Wawan mengungkapkan saat ini banyak beretebaran konten yang memuat cara-cara membuat bom, agitasi, rekrutmen, teknik penyerangan, teknik gerilya kota, maupun praktik langsung membuat bom yang tersebar di media sosial.
Penyebaran konten tersebut, kata Wawan, menyasar utamanya anak muda berusia 17 sampai 24 tahun.
Sedangkan pengguna media sosial dengan usia lebih dari 24 tahun, kata Wawan, merupakan target keduanya.
Baca juga: Rumah Terduga Teroris di Condet Digeledah Polisi, Ketua RW Lihat Ada Kartu Keanggotaan FPI
Wawan mengatakan 60 persen konten di media sosial berisi hoax.
Hoax-hoax tersebut, kata Wawan, sangat berdampak bagi jiwa-jiwa labil yang tidak kritis sehigga mereka melakukan langkah-langkah intoleran yang berujung pada tindakan radikal hingga mengarah ke teroris.
Media sosial, kata Wawan, disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme.
Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar ISNU-BNPT bertajuk "Mencegah Radikalisme dan Terorisme untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial" pada Selasa (30/3/2021).
"Kecenderungan ini dikuatkan oleh survei BNPT terbaru bahwa 80 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme. Ini menjadi catatan kita bahwa generasi milenial lebih cenderung menelan mentah, tidak melakukan cek, re-check, dan cross check. Dan sikap intoleran ini biasanya muncul pada generasi yang tidak kritis dalam berpikir," kata Wawan.
Penyebaran radikalisme melalui media sosial, kata Wawan, menjadi menarik bagi generasi muda.
Hal itu, kata dia, disebabkan generasi muda berada di usia yang rawan butuh jati diri dan eksistensi.
Penyebaran paham radikal tersebut, kata Wawan, juga sering dibumbui narasi heroisme.
Propaganda radikalisme di media sosial, kata dia, juga dikemas dengan narasi ketidakadilan.
Pesan-pesan tersebut menurutnya membentuk kesesatan berpikir bahwa tatanan sosial saat ini perlu dibenahi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.