Pendiri NII Crisis Center: Perampokan Pernah Sehari Rp 1 M, Modusnya Kita Menggunakan Perempuan
Perempuan di NII memiliki tugas khusus sebagai garda terdepan untuk melakukan perampokan. Misalnya, menyamar jadi pembantu di perumahan.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Modus-modus terorisme kerap kali memanfaatkan perempuan sebagai 'ujung tombak'. Di antaranya untuk melakukan perampokan demi mendapatkan dana operasional.
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan menceritakan saat dirinya menjadi seorang perekrut kelompok radikal di NII.
Terutama bagaimana merekrut perempuan untuk aktivitas tertentu, seperti perampokan.
"Radikalisme di kalangan perempuan ini memang unik," tutur Ken saat berbincang bersama Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domuara D Ambarita, Kamis (1/4/2021).
Saat masih bergabung dengan NII, kata Ken, anggota terbanyak adalah dari kalangan perempuan.
"Bahkan di tingkat amaliyah, penggalangan dana, dan perekrutan anggota baru, perempuan itu cukup menjadi andalan," ucap Ken.
Ken menyontohkan, perempuan di NII memiliki tugas khusus sebagai garda terdepan untuk melakukan perampokan. Misalnya, menyamar jadi pembantu di perumahan.
"Perampokan itu kita pernah sehari bisa mencapai Rp 1 miliar. Modusnya ketika saya bergabung, itu kita menggunakan perempuan," imbuh Ken.
Ken mengatakan, mereka dibuatkan KTP, ijazah, dan Kartu Keluarga palsu untuk meyakinkan si pengguna jasa mereka bekerja.
"Kita pilih Pondok Indah, Kalibata, jadi pembantu. Tunggu majikan pergi, anak sekolah. Panggil kita kasih tahu rumah kosong, kalau perlu kita bawa mobil atau truk, itu harta orang kita ambil," tuturnya.
Baca juga: Lima Terduga Teroris Asal Bima Masih Ditahan di Markas Polda NTB
Baca juga: Asal-usul Senjata Airgun yang Digunakan Terduga Teroris ZA Masih Misterius
Sementara para kelompok NII lainnya bergerak ke rumah tersebut, setelah mendapat informasi rumah ditinggalkan oleh para majikan. Dengan begitu leluasa untuk mengambil barang-barang berharga.
"Jadi kayak orang pindahan. Kita di rumah kayak toko emas, yang asli sebelah kiri, palsu sebelah kanan. Saya baru tahu di rumah elite itu juga banyak emas palsunya," cerita Ken.
"Satu hari lima orang di tempat yang berbeda itu pernah di atas Rp 1 miliar. Karena kita menganggap harta di luar kelompok boleh diambil. Harta musuh kita ambil untuk perjuangan," ujar Ken.