Kementerian PPPA: Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme dan Terorisme
Dalam sepekan ini, masyarakat dikejutkan dengan aksi terorisme secara berturut-turut di Makassar dan Jakarta.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sepekan ini, masyarakat dikejutkan dengan aksi terorisme secara berturut-turut di Makassar dan Jakarta.
Kedua aksi terorisme tersebut diketahui melibatkan perempuan sebagai pelakunya.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengungkapkan maraknya pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme, membuktikan perempuan lebih rentan terjerumus dalam jerat persoalan tersebut.
Baca juga: Penanganan Aksi Terorisme Tak Hanya dengan Penangkapan Jaringan Tapi juga Melawan Pemikiran Ekstrem
Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan dari seluruh elemen masyarakat, khususnya melalui penguatan ketahanan keluarga sebagai unit terkecil dan pertahanan pertama dalam masyarakat.
“Adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” kata Ratna dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (3/4/2021).
Ratna menambahkan kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang.
Baca juga: Penjual Senjata Kepada Penyerang Mabes Polri Ditangkap Densus 88 Antiteror di Banda Aceh
Sehingga, mereka kerap dimanfaatkan dalam aksi radikalisme dan terorisme.
“Selain itu, keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu. Disinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya,” jelas Ratna.
Terlebih menurut Ratna, pesatnya perkembangan teknologi informasi membuat paham radikal lebih cepat menyebar di masyarakat.
Baca juga: Sebut Aksi Teror di Mabes Polri dan Bom Makassar Punya Kesamaan, Mantan Napiter: Soal Pengkafiran
“Apalagi dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, serta bervariasinya modus-modus kejahatan baru,a' katanya.
Untuk itu, ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga.
"Karena itu orangtua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami, menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan,” kata Ratna.
Untuk menangani persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia, pemerintah tentunya tidak bisa bergerak sendiri.