Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kementerian PPPA: Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme dan Terorisme

Dalam sepekan ini, masyarakat dikejutkan dengan aksi terorisme secara berturut-turut di Makassar dan Jakarta.

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Kementerian PPPA: Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme dan Terorisme
Tribunnews/Herudin
Pasukan Brimob Polri melakukan penjagaan dan penyisiran usai penyerangan teroris di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (31/3/2021). Tribunnews/Herudin 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sepekan ini, masyarakat dikejutkan dengan aksi terorisme secara berturut-turut di Makassar dan Jakarta.

Kedua aksi terorisme tersebut diketahui melibatkan perempuan sebagai pelakunya.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengungkapkan maraknya pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme, membuktikan perempuan lebih rentan terjerumus dalam jerat persoalan tersebut.

Baca juga: Penanganan Aksi Terorisme Tak Hanya dengan Penangkapan Jaringan Tapi juga Melawan Pemikiran Ekstrem

Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan dari seluruh elemen masyarakat, khususnya melalui penguatan ketahanan keluarga sebagai unit terkecil dan pertahanan pertama dalam masyarakat.

“Adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” kata Ratna dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (3/4/2021).

Ratna menambahkan kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang.

Baca juga: Penjual Senjata Kepada Penyerang Mabes Polri Ditangkap Densus 88 Antiteror di Banda Aceh

Berita Rekomendasi

Sehingga, mereka kerap dimanfaatkan dalam aksi radikalisme dan terorisme.

“Selain itu, keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu. Disinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya,” jelas Ratna.

Terlebih menurut Ratna, pesatnya perkembangan teknologi informasi membuat paham radikal lebih cepat menyebar di masyarakat.

Baca juga: Sebut Aksi Teror di Mabes Polri dan Bom Makassar Punya Kesamaan, Mantan Napiter: Soal Pengkafiran

“Apalagi dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, serta bervariasinya modus-modus kejahatan baru,a' katanya.

Untuk itu, ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga.

"Karena itu orangtua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami, menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan,” kata Ratna.

Untuk menangani persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia, pemerintah tentunya tidak bisa bergerak sendiri.

“Pentingnya sinergi semua pihak baik civil society (masyarakat sipil) untuk bergerak secara masif dan berkelanjutan, khususnya dengan melakukan sistem deteksi dini (early warning system) karena persoalan terorisme dan radikalisme ini merupakan tantangan besar kita dalam menghasilkan SDM berkualitas," katanya.

"Mari kita bersinergi lindungi perempuan dari bahaya terorisme dan radikalisme, demi mewujudkan Generasi Emas Indonesia pada 2045. Jika perempuan berdaya, anak terlindungi, saya yakin Indonesia pun akan maju,” lanjut Ratna.

Senada dengan Ratna, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Akhmad Nurwakhid menekankan pentingnya memperkuat civil society dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, khususnya tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam memerangi adanya pemahaman dan ideologi menyimpang yang mengarah pada aksi terorisme dan radikalisme.

“Setiap orang berpotensi memiliki pemahaman radikal, disinilah pentingnya ajaran dalam bentuk narasi dari para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang mengandung budi pekerti, pembangunan karakter, serta nilai-nilai positif, supaya masyarakat kebal terhadap ancaman pemahaman radikal,” ujar Akhmad.

Akhmad menambahkan adanya anggapan perempuan memiliki perasaan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap taat pada suami, cenderung membuat mereka lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya.

Menindaklanjuti persoalan ini, BNPT telah berupaya menanggulanginya, diantaranya dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang sudah dibentuk di 32 Provinsi untuk melakukan sosialisasi kepada generasi muda, termasuk perempuan, dan anak.

“Aksi radikalisme dan terorisme bukanlah bentuk monopoli satu agama, melainkan ada di setiap agama, kelompok, bahkan berpotensi ada di setiap individu manusia. Segala bentuk terorisme yang mengatasnamakan agama, sejatinya adalah manipulator agama dan tidak terkait dengan agama apapun. Ini menjadi musuh kita bersama, kita harus bersatu untuk menanggulanginya,” kata Akhmad.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas