Kemlu RI: WNI Tanpa Dokumen Rentan Jadi Korban TPPO
(WNI) yang bekerja diluar negeri tanpa memiliki kelengkapan dokumen resmi (undocumented) diasumsikan rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Luar Negeri mengungkapkan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja diluar negeri tanpa memiliki kelengkapan dokumen resmi (undocumented) diasumsikan rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Faktu ini disampaikan oleh Direktur Pelindungan WNI (PWNI) yang mengungkapkan tantangan pelindungan WNI, khususnya korban TPPO di luar negeri semakin kompleks dimasa pandemi covid-19.
Berdasarkan catatan Kemlu RI jumlah kasus terkait perlindungan WNI di luar negeri meningkat lebih dari 100 persen selama tahun 2020.
“Pada tahun 2019, Kemlu menangani total 24 ribu kasus, pada tahun 2020 jumlahnya melonjak 2 kali lipat menjadi lebih dari 54 ribu kasus, termasuk kasus korban TPPO,” kata Judha di sesi wawancara Kompas TV Talk, Selasa (6/4/2021).
Kondisi covid-19 membuat WNI semakin rentan bukan hanya karena virus itu sendiri, tapi juga banyak WNI yang terdampak kebijakan lockdown yang dilakukan sebagian negara untuk mencegah penyebaran covid.
Judha menyebut yang paling terdampak kebijakan lockdown adalah WNI yang berstatus undocumented atau tanpa dokumen alias illegal dan pekerja lepas yang mengandalkan upah harian.
Baca juga: Seorang WNI Dihukum 9 Bulan Penjara Karena Aniaya dan Injak Kaki Bayi Majikan di Singapura
“Ini menjadi fenomena yang perlu menjadi perhatian kita,” katanya.
Keberadaan WNI tanpa dokumen ini diasumsikan Kemlu RI sangat dekat dengan TPPO.
Karena ketika para pekerja migran berangkat keluar negeri dengan diiming-imingi pekerjaan yang baik dengan gaji yang fantastis merupakan salah satu modus TPPO, yakni penipuan.
“Awal di desa mereka sudah diberi uang panjar oleh calo atau sponsor itu juga menjadi modus TPPO. Karena uang panjar itu tidak gratis dan akan mengikat korban ketika berangkat keluar negeri,” ujarnya.
Uang panjar yang diberikan pada WNI merupakan salah satu jebakan dari para calo sebelum berangkat keluar negeri.
Namun setelah PMI menyadari apa yang dijanjikan tidak sesuai apa yang mereka kira di Indonesia, ketika para PMI itu ingin kembali ke Indonesia, mereka akan dijerat dengan uang panjar tersebut.
“Ini kasus yang banyak terjadi,” lanjutnya.
Judha mengatakan perlunya edukasi kepada masyarakat agar bisa memahami modus-modus para calo seperti itu.
Khususnya kepada masyarakat atau WNI di daerah-daerah kantong-kantong atau di daerah asal para pekerja migran Indonesia, agar hal itu bisa dicegah.
Judha mengatakan dalam catatan Kemlu RI, kasus TPPO yang terjadi diluar negeri mayoritas terkait dengan eksploitasi tenaga kerja.
Untuk menangani ini, pihaknya bekerja sama dengan 7 kementerian/lembaga untuk proses penanganan, mulai dari penanganan di luar negeri hingga sampai ke Indonesia.
Kedutaan besar Indonesia, sejumlah kementerian hingga Polri menurutnya harus turut andil dalam menangani korban TPPO.
“Penanganan kasus harus dilakukan secara holistic mulai dari luar negeri hingga dikembalikan ke daerah asal, termasuk terkait penegakan hukum,” katanya.
Selain itu, pencegahan menurut Judha adalah tindakan yang paling penting, efektif dan mudah.
Pencegahan dilakukan dari hulu, atau titik dimana para PMI itu berasal dengan memberikan edukasi dan pemahaman pada calon PMI tentang modus-modus TPPO hingga informasi tentang negara setempat, termasuk tentang hukum yang berlaku di negara penempatan.
“Kita tidak hanya harus menangani kasus yang muncul tapi juga pencegahan. Selamanya pencegahan adalah hal yang paling efektif dan paling mudah dilakukan,” ujarnya.