Pengamat Intelijen: Penjara Bikin Teroris Malah Tambah Hebat
Ridlwan Habib menyoroti pola deradikalisasi yang dilakukan pemerintah di lapas-lapas yang di dalamnya terdapat napi-napi kasus terorisme.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat intelijen dan terorisme dari Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib menyoroti pola deradikalisasi yang dilakukan pemerintah di lapas-lapas yang di dalamnya terdapat napi-napi kasus terorisme.
Menurut Ridlwan pola tersebut cenderung bersifat formalistik.
Pola-pola tersebut, menuru Ridlwan satu dari sejumlah faktor yang menyebabkan aksi terorisme terus berulang.
Berdasarkan data Indonesia Intelijen Institute bekerja sama dengan laboratorium 45, kata dia, faktanya, sejak tahun 2000 hingga tahun 2021, Indonesia itu sudah 553 serangan teror.
Dari data tersebut, serangan Zakiah Aini di Mabes Polri beberapa waktu lalu adalah serangan ke-197 menggunakan senjata ke markas kepolisian.
Baca juga: Deteksi Dini Terorisme Pemerintah Harus Beri Pembekalan Mulai dari Tingkat Keluarga
Saat ini, kata dia, di dalam penjara ada 875 narapidana yang sedang menjalankan proses hukuman.
Narapidana yang sedang proses mau dihukum, dalam artian proses penyidikan atau menjalani persidangan ada sekitar 220.
Data tersebut, kata dia, belum termasuk dengan para terduga teroris yang ditangkap dalam periode tiga bulan terakhir yang nyaris hampir 180 orang sejak Januari sampai penangkapan terakhir.
Ridlwan mengaku telah menulis tentang kegagalan penggalangan intelijen dan kegagalan deradikaliasi di lapaa terorisme.
Berdasarkan hasil risetnya di 12 lapas yang di dalamnya terdapat napi kasus terorisme, kegiatan deradikalisasi yang digelar bersifat formalistik misalnya berupa seminar.
Para napi tersebut, kata dia, enggan mengikuti isi daribacara tersebut karena bentuknya yang formalistik dan cenderung memilih untuk sekadar mengisi absensi.
Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Online bertajuk "Anak Muda dan Terorisme" yang digelar Partai Solidaritas Indonesia pada Senin (5/4/2021).
"Saya kira, proses ini harus diubah. Proses, sistem deradikalisasi dalam penjara perlu diperbaiki negara. Kenapa? Karena yang terjadi adalah penjara menjadi madrosatul jihad. Orang masuk penjara, bukannya sembuh tapi malah lebih hebat," kata Ridlwan.
Sejumlah kasus, kata dia, juga mendukung hal tersebut.
Ia mencontohkan dengan pelaku teror bom Thamrin beberapa tahun lalu.
Ridlwan mengatakan, pelaku teror bom Thamrin awalnya merupakan residivis kasus pencurian kendaraan bermotor.
Namun, kata dia, pelaku tersebut bertemu dengan kelompok jihadis yang mencuci otaknya di penjara.
"Dia sebenarnya adalah residivis kasus pencurian motor, bukan kasus terorisme. Tapi begitu keluar dia jadi teroris. Naik level. Belajarnya di dalam penjara. Pembunuh, pemerkosa, ditakut-takutin. Kalian taubatnya tidak akan diterima kalau tidak baiat ke kita. Jadi di dalam penjara, dengan mengikuti itu, mereka mencari pertaubatan, pemurnian dosa, maka dia gabung teroris," kata Ridlwan.
Selain itu, ia juga menyoroti pengawasan terhadap napi teroris setelah keluar dari penjara.
Kebanyakan dari mereka, kata Ridlwan kembali berkegiatan yang cenderung beraroma radikal.
"Karena mereka menghadapi tuntutan hidup. Di satu sisi da anak istri yang harus dinafkahi, di sisi lain masyarakat menolak dia. Karena itu mereka kebingungan. Yang beruntung bisa survive. Tapi lebih banyak yang tidak beruntung. Negara seharusnya yang berjalan di situ, bukan institusi swasta," kata Ridlwan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.