Apa Itu Hari Raya Galungan? Berikut Sejarah, Makna dan Perayaannya
Tepat pada hari ini, Rabu 14 April 2021, umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan. Berikut ini sejarah, makna dan perayaan Hari Raya Galungan.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Whiesa Daniswara
Hawa nafsu dalam diri kita dikenal dengan nama Kalatiga, yakni tiga macam kala secara bersama-sama dimulai sejak hari Minggu sehari sebelum penyajaan, hari Senin dan berakhir hari Selasa (Penampahan Galungan).
Maksud dari tiga kala yakni:
1. Kala Amangkurat, yakni nafsu yang selalu ingin berkuasa, ingin menguasai segala keinginan secara batiniah dan nafsu ingin memerintah bila tidak terkendali tumbuh menjadi nafsu serakah untuk mempertahankan kekuasaan sekalipun menyimpang dari kebenaran.
2. Kala Dungulan yang berarti segala nafsu untuk mengalahkan semua yang dikuasai oleh teman kita atau orang lain.
3. Kala Galungan, yakni nafsu untuk menang dengan berbagai dalih dan cara yang tidak sesuai dengan norma maupun etika agama.
Hari Raya Galungan memang dirayakan sebagai hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma, kalahnya keangkaramurkaan yang oleh Mpu Sedah disebut sebagai "Kadung gulaning parangmuka", lebih jauh dijelaskan musuh yang dimaksud adalah musuh-musuh yang ada pada diri manusia yang terlebih dahulu harus dikalahkan.
Musuh dimaksud adalah: kenafsuan (kama), kemarahan (kroda), keserakahan (mada),'irihati (irsya) atau semua tergolong dalam sadripu maupun Satpa Timira.
Sejarah Hari Raya Galungan
Sebagaimana kita ketahui, kisah tersebut telah tertuang dalam Kitab Mahabharata yang termasuk Itihasa sangat utama dalam sastra Hindu.
Dalam kitab tersebut tertulis betapa perjuangan Pandawa dalam memerangi Adharma untuk menegakkan dharma.
Sang Darma Wangsa adalah keluarga yang selalu menegakkan dharma, beliau bekerja, berjuang dan berkeyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang (Satyam eva Jayanti).
Lain halnya dengan Maha Kawi Danghyang Nirartha, beliau melahirkan sebuah karya kekawin Maya Danawan-taka.
Dalam ceritanya, dikisahkan seorang pertapa yang teguh melaksanakan tapa di punggung Gunung Ksiti-pogra dan pusat pemerintahannya diseputaran danau Batur daerah Kinta-mani, Bangli di Bali.
Setelah dia mendapat anugrah dalam pertapaannya, ternyata kelobaannya menjadi-jadi, sehingga rakyatnya di wilayah pemerintahannya menjadi ketakutan.