Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Vaksin Besutan Terawan Terabas Aturan, Guru Besar FKUI Singgung Etika Dokter yang Meriset

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Akmal Taher menyinggung etika dokter yang terlibat dalam uji klinis vaksin Nusantara.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Vaksin Besutan Terawan Terabas Aturan, Guru Besar FKUI Singgung Etika Dokter yang Meriset
Kompas Tv https://www.youtube.com/watch?v=u8CZ49jSsC0
ILUSTRASI. Vaksin Nusantara hingga kini masih menungu uji klinis tahap II 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menuai sorotan publik.

Pasalnya vaksin ini tetap melaju uji klinis fase II meski belum mengantongi rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Menanggapi hal ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Akmal Taher menyinggung etika dokter yang terlibat dalam uji klinis vaksin Nusantara.

Sebab kata dia, setiap dokter terikat erat dengan aturan ethical clearance atau kelayakan etik.

Baca juga: Vaksin Nusantara, Ketum IDI: Jangan karena Niat Nasionalisme, Protokolnya Cincai Tidak Masalah

"Kalau kita mengacu etik, semua penelitian apalagi penelitian plan marketing seperti ini harus dapat izin BPOM. Jadi jelas ada pelanggaran peraturan," ucap Akmal dalam pernyataan virtualnya, Sabtu (17/4/2021).

"Secara etik yang bisa itu, juga yang melakukan penelitiannya. Karena secara kedokteran kita punya etik dan melakukan uji klinik itu kita mesti ikut pada aturan ethical clearance," sambungnya.

Menurut Ahli Bedah Urologi ini, pengujian klinis vaksin Nusantara jelas melanggar aturan karena mengabaikan rekomendasi dari BPOM.

Berita Rekomendasi

Semestinya kata dia, uji klinis fase II tidak boleh dilakukan.

Mengingat vaksin tersebut nantinya akan diproduksi massal untuk masyarakat Indonesia.

"Sudah jelas bahaya sekali kalau yang beredar itu keamanannya tidak terjamin," tegas dia.

Baca juga: IDI Minta Semua Pihak Menaati BPOM terkait Penelitian Vaksin Nusantara

Sebagai informasi, BPOM menyatakan vaksin Nusantara tidak melewati tahap praklinis, sehingga belum dapat melanjutkan uji klinis tahap II.

Namun sejumlah anggota DPR RI tetap ngotot menjadi relawan uji klinis tahap II.

Padahal berdasarkan data studi vaksin Nusantara, tercatat 20 dari 28 subjek atau 71,4 persen relawan uji klinik fase I mengalami Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dalam grade 1 dan 2.

Dokumen hasil pemeriksaan tim BPOM juga menunjukkan berbagai kejanggalan penelitian vaksin.

Misalnya tidak ada validasi dan standardisasi terhadap metode pengujian.

Hasil penelitian pun berbeda-beda, dengan alat ukur yang tak sama.

Produk vaksin tidak dibuat dalam kondisi steril. 

Baca juga: Siti Fadilah Supari: Kalau Vaksin Nusantara Terawan Sukses Pemerintah Juga yang Untung

Catatan lain adalah antigen yang digunakan dalam penelitian tidak terjamin steril dan hanya boleh digunakan untuk riset laboratorium, bukan untuk manusia.

Tertulis dalam dokumen tersebut, BPOM menyatakan hasil penelitian tidak dapat diterima validitasnya.

Dalam bagian lain dokumen disebutkan, uji klinis terhadap subjek warga negara Indonesia dilakukan oleh peneliti asing yang tidak dapat menunjukkan izin penelitian.

Bukan hanya peneliti, semua komponen utama pembuatan vaksin Nusantara pun diimpor dari Amerika Serikat.

"Bahwa ada komponen yang betul-betul komponen impor dan itu tidak murah. Plus ada satu lagi, pada saat pendalaman didapatkan antigen yang digunakan, tidak dalam kualitas mutu untuk masuk dalam tubuh manusia," kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam rapat dengar dengan Komisi IX DPR RI yang disiarkan secara daring, Kamis (8/4/2021).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas