Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sejumlah Kalangan Nilai UU Cipta Kerja Tidak Lindungi Lingkungan

Kebijakan yang dibuat tidak terlepas dari berbagai tarikan kepentingan, sehingga berdampak pada tata kelola lingkungan.

Penulis: Yulis
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Sejumlah Kalangan Nilai UU Cipta Kerja Tidak Lindungi Lingkungan
Tribunnews/Irwan Rismawan
Sejumlah aktivis melakukan aksi simbolik di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (18/3/2021). Dalam aksi tersebut mereka menuntut Presiden Joko Widodo untuk mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan regulasi turunannya yang menghapus Fly Ash Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah B3. Tribunnews/Irwan Rismawan 

 
TRIBUNNEWS.COM -- Manajer Advokasi Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP), Ikhwan Fahrojih mempertanyakan apakah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja produk yang berwawasan lingkungan.

Pasalnya, UU tersebut belum memenuhi aspek formal syarat pembentukan sebuah Undang Undang sebagaimana mandat UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang Undangan.

Menurutnya UU Ciptaker dasar filosofisnya kemudahan berusaha. Sementara UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dasar filosofisnya perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Baca juga: Wamendag: Dua Aturan Turunan UU Ciptaker Rampung

 
“Saya ingin katakan bahwa Omnibus Law Ciptaker itu merubah UU Lingkungan Hidup dengan dasar filosofis yang berbeda,” kata Ikhwan dalam kuliah tamu virtual bertajuk ‘Dampak Omnibus Law Ciptaker terhadap Lingkungan Sosial’ yang digelar Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP) bekerjasama dengan Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (17/04).

Kaprodi Sosiologi FISIP UMM, Rahmad K. Dwi Susilo mensinyalir UU Omnibus Law Ciptaker sebagai UU yang mengakumulasi kapital. Menurutnya, kebijakan yang dibuat tidak terlepas dari berbagai tarikan kepentingan, sehingga berdampak pada tata kelola lingkungan.

Rahmad mengatakan, proses pengambilan keputusan akan didominasi oleh pemerintah pusat bersama korporasi. Hal itu berdampak pada hak sosial lingkungan masyarakat lokal terancam karena tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Baca juga: RUU Ciptakerja Dinilai Bukan Ancaman untuk Buruh, Ini Penjelasan Pengamat

“Dengan UU ini partisipasi masyarakat lokal akan dikurangi, termasuk juga hak-hak sosial lingkungan masyarakat lokal. Dengan demikian akan memicu protes,” tegasnya.

BERITA REKOMENDASI

Senior Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin mengatakan, sejak awal UU Omnibus Law Ciptaker bermasalah. Baik DPR dan Pemerintah tidak melibatkan partisipasi publik dalam proses penyusunan sejak awal.

Aktor utama di balik RUU tersebut adalah asosiasi bisnis yang telah membentuk tim beranggotakan 127 orang yang disebut Satgas Omnibus Law, yang sebagian besar adalah pengusaha. Sisanya akademisi dan pejabat negara.

Baca juga: Omnibus Law Jangan Sampai Mempersulit Para Pencari Kerja

 
Merujuk Naskah Akademik Omnibus Law, halaman 181, dinyatakan bahwa keterlibatan masyarakat oleh sebagian pihak dianggap menjadi faktor penghambat investasi.

“Partisipasi publik dalam proses penyusunan tidak dilibatkan, terlebih jika dilihat ada 74 UU yang dijadikan menjadi satu dalam sebuah UU. Itu didalamnya terdapat banyak perubahan signifikan dalam UU tersebut,” kata Asep Komarudin.

Asep juga menyoroti pendekatan investasi yang ingin dicapai didalam Omnibus Law. Menurutnya, pemerintah masih memprimadonakan investasi industri ekstaraktif yang akan diundang di Indonesia. Seperti, tambang, perkebunan, dan lainnya.


“Kita harus merubah pendekatan terkait dengan investasi pengelolaan lingkungan hidup. Pasti tidak ada ekonomi yang maju di atas ekologi yang rusak,” ujarnya.

Anggota Komisi IV DPR RI, Luluk Nur Hamidah mengatakan ada prinsip-prinsip yang seharusnya ada di dalam UU Ciptaker agar tidak berdampak kepada lingkungan hidup dan masyarakat. Pertama, prinsip keadilan dalam satu generasi. Menurutnya, keadilan dalam satu generasi yang ditujukan pada mereka yang hidup hari ini, tetapi keadilan antargenerasi itu juga harus ada.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas