Menilik Rumah Menlu Pertama RI Achmad Soebardjo di Cikini: Menyimpan Segudang Cerita Perjuangan
Terletak di pinggir Jalan Cikini Rayam rumah tua berlanggam kolonial itu masih berdiri kokoh di tengah modernisasi.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terletak di pinggir Jalan Cikini Rayam rumah tua berlanggam kolonial itu masih berdiri kokoh di tengah modernisasi.
Meski usianya sudah ratusan tahun, pesonanya tak habis digerus waktu yang berderap maju.
Bangunan itu juga memiliki segudang cerita tentang perjuangan seorang bapak pendiri bangsa dalam membangun Negara Indonesia.
Pemilik rumah tua itu ialah mendiang Achmad Soebardjo, Menteri Luar Negeri Pertama Republik Indonesia (RI).
Baca juga: Upaya Para Seniman Melestarikan Bangunan Tua Bersejarah di Gaza
Saya sempat menyambangi rumah zaman Belanda yang beralamat di Jalan Cikini Raya No. 82, Menteng, Jakarta Pusat, itu usai mendengar keriuhan di media sosial.
Gonjang ganjing dijualnya rumah Achmad Soebardjo seketika riuh terdengar di jagat maya.
Sebagian besar warganet menyayangkan kabar itu karena sarat akan nilai historis.
Di halaman rumah, saya bertemu dengan Bambang, salah satu cucu Achmad Soebardjo.
Dengan ramah, ia lalu mengajak saya untuk menemui anak pertama dari Achmad Soebardjo bernama Laksmi Pudjiwati Insia (85) di ruang tamu.
Ruang tamu rumah itu sangatlah megah. Saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalam ruang tamu, nuansa zaman dulunya terasa.
Ada enam jendela dan tiga pintu berkusen besar terpajang di depan ruang tamu. Sedangkan terdapat dua jendela berkusen besar di bagian belakang dan di samping ruang tamu.
Ciri khas rumah belanda lainnya yang saya rasakan ketika masuk ialah plafon rumah yang sangat tinggi tak seperti rumah zaman sekarang.
Ruang tamu yang besar seakan membuat tubuh saya terasa kecil. Ruangan pun terasa sejuk karena sirkulasi udara yang baik.
Di ruang tamu, terdapat sejumlah perabotan tua seperti sejumlah bangku, meja, lampu gantung dan sebuah cermin di dinding. Rumah ini terdiri dari empat kamar dan satu kamar mandi.
Bambang bercerita bahwa plafon rumah ini terbuat dari kayu jati besi yang sudah berusia hampir 300 tahun.
Baca juga: Stadion Bersejarah Persikota-Persita Tangerang Direnovasi: Stadion Benteng Jadi Fasilitas Publik
Saat kepala saya menengadah ke atas, terlihat plafon bercat putih itu sudah lapuk.
Semenjak Achmad Soebardjo tutup usia, rumah itu ditinggali oleh anak dan cucunya.
Kini, ada tiga keluarga yang masih mendiami rumah tersebut.
Tak berselang lama, Ibu Laksmi menghampiri saya. Anak sulung dari lima bersaudara ini bersedia menggali kembali kenangan kala ayahnya membeli rumah ini.
Dibeli dari Orang Belanda
Kala itu, kenang Laksmi, keluarga Achmad Soebardjo tinggal di Jalan Palem, Menteng, Jakarta Pusat. Disana mereka menyewa sebuah rumah tinggal.
Kemudian ketika Jepang mengambil alih pemerintahan Belanda pada tahun 1942, keluarga mereka mulai mencari rumah tinggal baru.
Saat Jepang masuk, banyak orang-orang Belanda yang ditahan dan dijebloskan ke dalam kamp interniran. Peristiwa itu menyebabkan banyak rumah-rumah yang dihuni orang Belanda kosong.
"Waktu Jepang masuk, itu banyak rumah yang kosong karena Belanda-Belanda (orang) dipenjara sama Jepang. Jadi banyak rumah kosong," ungkapnya kepada TribunJakarta.com Jumat (16/4/2021).
Laksmi melanjutkan Achmad Soebardjo dan anak-anaknya kemudian berkeliling melihat-lihat sejumlah rumah yang kosong itu. Mendiang Achmad Soebardjo memutuskan untuk pindah lantaran rumah yang ditempatinya saat itu lebih kecil.
Sampai suatu ketika, mereka menemukan sebuah rumah kosong berlanggam kolonial era 1800-an di tepi Jalan Cikini Raya. Mereka pun menambatkan hati kepada rumah itu.
"Lalu kita jalan-jalan ke sini (kawasan Cikini) lihat-lihat rumah, rumah ini satu-satunya yang kosong," lanjutnya.
Awalnya, Achmad Soebardjo belum membeli rumah itu. Ia baru menyewa kepada pemiliknya, seorang Belanda.
Laksmi tak ingat nama orang Belanda itu. Yang jelas, rumah ini sudah dibangun sejak tahun 1800-an dan sudah dihuni beberapa kali oleh orang asing.
Keluarga Achmad Soebardjo menyewa rumah itu sampai sekitar tahun 1960-an. Setelah itu, pemiliknya memutuskan untuk menjualnya kepada Achmad Soebardjo.
"Orang Belanda itu mau jual, terus kita beli rumahnya," tambahnya.
Laksmi menuturkan ketika ayahnya diangkat menjadi Menteri Luar Negeri, Achmad Soebardjo membelinya dengan cara mencicil lantaran pemiliknya akan pulang ke Belanda.
Akhirnya, rumah itu pun lunas dan menjadi rumah keluarga Achmad Soebardjo sampai sekarang.
"Ayah saya enggak mau minta rumah kepada pemerintah. Kami anak-anaknya yang sudah bisa kerja membantu juga mencicil atau urunan. Jadi waktu itu masih murah ya harganya," kenangnya.
Ada banyak sekali kenangan yang tak bisa dibeberkan satu per satu oleh Laksmi tentang rumah ini kepada TribunJakarta.com lantaran waktu yang terbatas.
Kini, rumah yang sempat dijadikan Kantor Kementerian Luar Negeri pertama RI itu dijual.
Kita bisa melihatnya di akun media sosial @kristohouse.
Dalam iklan itu tertera harga jual dari rumah Achmad Soebardjo seharga Rp 200 miliar dengan luas 2.916 meter dan luas bangunan 1.676 meter.
Laksmi mengatakan rumah ini bukan milik pemerintah melainkan pribadi. Ia memegang Sertifikat Hak Milik (SHM) rumah tersebut.
Baca juga: Pemain Saling Sindir di Luar Lapangan, Duel Persija Vs PSM Semakin Panas: Heran, Kok Dia Benci Betul
Dalam iklan itu juga tertulis bahwa gedung ini bisa potensial untuk dibangun 8 lantai lantaran masuk ke dalam zona komersil.
Laksmi mengatakan biaya perawatan rumah megah bergaya kolonial ini terbilang besar sehingga pihak keluarga lama-lama sulit merawatnya lalu memutuskan untuk menjualnya.
Berita ini tayang di Tribun Jakarta: Kisah Awal Mantan Menlu RI Achmad Soebardjo Membeli Rumah Bergaya Belanda di Cikini