'Tantangan Eksistensial' di Putaran Akhir Konferensi Polusi Plastik Global
Banyak negara berkumpul di Busan untuk membicarakan perjanjian krisis plastik global yang telah menjadi ancaman eksistensial bagi…
Putaran akhir perundingan tentang perjanjian untuk mengakhiri polusi plastik global dimulai pada hari Senin (25/11). Para diplomat yang memimpin negosiasi itu mendesak negara-negara untuk "menghadapi tantangan eksistensial".
Pertemuan ini dibuka hanya beberapa jam setelah terjadinya kekacauan saat pembicaraan iklim COP29 di Baku, yang menyepakati peningkatan pendanaan iklim, tetapi dikecam oleh negara-negara berkembang yang menganggap pendanaan itu 'tidak cukup'.
"Konferensi ini lebih dari sekadar menyusun perjanjian internasional,” ujar Diplomat Ekuador, Luis Vayas Valdivieso, dalam sebuah pleno pembukaan di Busan, Korea Selatan. "Ini adalah tentang umat manusia yang bangkit untuk menghadapi tantangan eksistensial.”
Perundingan ini adalah kali kelima negara-negara di dunia berkumpul untuk membahas perjanjian polusi plastik yang mengikat secara hukum. Selain delegasi nasional, perwakilan dari industri plastik, ilmuwan, dan pemerhati lingkungan juga hadir untuk menentukan solusi global dalam mengatasi masalah yang makin meroket ini.
Ancaman polusi plastik global
"Kita harus mengakhiri polusi plastik sebelum polusi plastik mengakhiri kita,” ujar Kim Wansup, Menteri Lingkungan Hidup Korea Selatan, pada sesi pembukaan.
Polusi plastik ada di mana-mana, bahkan plastik telah ditemukan di awan, palung laut terdalam, hingga ASI manusia. Dan meskipun hampir semua orang sepakat bahwa ini adalah masalah besar, masih ada perbedaan pendapat tentang cara menyelesaikannya.
Di antara isu-isu paling kontroversial adalah apakah perjanjian ini harus membatasi produksi plastik, kemungkinan pelarangan bahan kimia yang dikhawatirkan beracun bagi kesehatan manusia, dan cara membiayai implementasinya.
"Ada beberapa perbedaan nyata pada beberapa elemen kunci," kata Kepala Program Lingkungan PBB, Inger Andersen, pada hari Minggu (24/11). "Saya percaya bahwa kita benar-benar dapat mencapai kesepakatan, tetapi ini memerlukan semua orang untuk berkompromi,” tambahnya.
Pada 2019, dunia memproduksi sekitar 460 juta ton plastik, angka yang meningkat dua kali lipat sejak tahun 2000, menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Produksi plastik diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2060. Plastik juga menyumbang sekitar tiga persen dari total emisi global, terutama terkait produksinya yang masih menggunakan bahan bakar fosil.
Arab Saudi tidak setujui pembatasan produksi plastik
Beberapa negara, termasuk Koalisi Ambisi Tinggi (HAC) yang mengelompokkan banyak negara Afrika, Asia, dan Eropa, ingin membahas seluruh "siklus hidup" plastik, termasuk membatasi produksi, merancang ulang produk yang dapat digunakan kembali dan didaur ulang, serta menangani limbahnya.
Beberapa negara produsen minyak dan gas, termasuk Arab Saudi dan Rusia, tidak setuju dengan pembatasan produksi plastik, dan hanya ingin fokus pada penanganan limbahnya saja.
Namun, HAC menginginkan target global yang mengikat untuk mengurangi produksi plastik, seraya memperingatkan bahwa "kepentingan tertentu" tidak boleh dibiarkan menghambat kesepakatan perjanjian global di Busan kali ini.
Perpecahan itulah yang telah menghambat empat putaran pembicaraan global sebelumnya, yang menghasilkan dokumen setebal lebih dari 70 halaman.