BNPT: Pelabelan Teroris kepada KKB Melalui Kajian Panjang dan Hati-hati
Menurut Brigjen Pol Eddy Hartono, ada beberapa pertimbangan mengapa KKB di ‘Bumi Cenderawasih’ dilabeli teroris.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, telah memberikan label teroris kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
Menurut Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Eddy Hartono, ada beberapa pertimbangan mengapa KKB di ‘Bumi Cenderawasih’ dilabeli teroris.
Di antaranya meningkatnya eskalasi kekerasan pascapenembakan terhadap Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Binda) Papua Mayjen Anumerta I Gusti Danny Karya Nugraha.
Ketika KKB telah dilabeli terorisme, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat digunakan. Sebab, KKB biasanya dijatuhi hukum secara individu di pengadilan Nabire, Biak, dan Manokwari, dengan hanya dijerat pasal 104, 106, 107, 160, 170, 187, serta 340 KUHP.
Baca juga: Label Teroris Untuk KKB Dinilai Tak Akan Akhiri Pelanggaran HAM yang Dialami Orang Papua
KUHP tidak dapat menjerat KKB yang terorganisir. Kejahatan korporasi hanya dapat dijerat dengan UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup, UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No.5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Keputusan tersebut telah melewati berbagai kajian yang cukup panjang dan berhati-hati," ujar Eddy, dalam diskusi daring bertajuk 'KKB Teroris atau Bukan?’, Kamis (29/4/2021).
Pelabelan teroris terhadap KKB, juga memungkinkan penggunaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Baca juga: KKB Papua Resmi Jadi Organisasi Teroris, Densus 88 Akan Diterjunkan?
“Karena terus terang saja, seperti yang kita ketahui, gerakannya orang-orang yang terlibat di KKB ini sudah cukup luas. Baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri,” ujar Eddy.
Di sisi lain, UU No.9/2013 dinilai Eddy dapat memblokir rekening terduga teroris melalui proses peradilan dengan bukti pengulangan yang cukup.
Dalam konteks ekstradisi, UU No.5/2018 memungkinkan terduga teroris tidak dapat berlindung di bawah tindak pidana politik ketika melakukan propaganda. Terduga teroris juga tidak dapat meminta suaka ke negara lain, menggalang dana, dan meminta dukungan.
“Mereka ke depannya tidak bisa masuk ke negara lain kalau masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi terorisme. Karena apa? Negara lain tidak bisa melindungi lagi dan berkewajiban untuk mengekstradisi ke negaranya,” ucapnya.
Selain itu, UU No.5/2018 disebut bakal melindungi HAM, karena jika penegak hukum melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dapat disanksi pidana.
Itulah sebabnya UU No.5/2018 dinilai komprehensif, sehingga layak diterapkan dalam penanganan di Papua yang menggunakan pendekatan penegakan hukum dan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, UU No.5/2018 mengatur norma hukum baru dan hukum acara baru. Bahkan, bisa mencabut paspor terduga teroris selama lima tahun dan memberikan pemberatan sanksi hukuman, seperti jika melibatkan anak-anak.
"Secara kelembagaan, UU No.5/2018 dapat mengakomodir pelibatan BNPT, TNI, hingga DPR," tandasnya.