AJI Sebut Ada 5 Regulasi Ancam Kebebasan Pers
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berada pada urutan pertama.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai ada sejumlah regulasi atau aturan yang menghambat dan mengancam kebebasan pers di Indonesia sepanjang setahun terakhir. Paling tidak ada lima regulasi yang menghambat kebebasan pers.
Hal itu disampaikan Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Erick Tanjung dalam Peluncuran Catatan AJI atas Situasi Kebebasan Pers di Indonesia 2021, yang diadakan secara virtual, Senin (3/5/2021).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berada pada urutan pertama.
“Regulasi yang menghambat, pertama adalah UU ITE. Sampai sekarang tidak dilakukan revisi oleh pemerintah mengenai UU ITE,” jelasnya.
Kedua, AJI mencatat ada sejumlah pasal dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP) yang berpotensi mengancam kebebasan pers.
Kemudian Peraturan Pemerintah (PP) 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar).
“Regulasi yang menghambat itu ada PP Postelsiar, yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Ini juga menjadi ancaman terhadap perkembangan pers kedepan,” jelasnya.
Selanjutnya Peraturan Mahkamah Agung (MA) tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan.
“Peraturan MA ini sempat kita sikapi karena kita menilai bahwa peraturan ini menghalang-halangi kerja-kerja jurnalistik baik itu memotret maupun mendokumentasikan proses persidangan yang transparan,” ucapnya.
“Akhirnya beberapa hari kemudian Peraturan MA itu dicabut. Itu menjadi catatan kita,” tegasnya.
Baca juga: AJI Catat 25 Dari 34 Jurnalis Perempuan Pernah Alami Kekerasan Seksual
Terakhir, kata dia, Telegram Kapolri tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik.
“AJI juga memprotes Telegram Kapolri ini karena kami menilai ada salah satu point menyatakan untuk tindakan kekerasan, arogansi aparat kepolisian di lapangan tidak boleh disiarkan atau direkam. Ini bentuk ketidak-transparansian aparat kepolisian. Makanya kita mendesak,” jelasnya.
“Keesokkan harinya, Kapolri mencabut Telegram ini. Dan kami mendukung keputusan Kapolri dengan cepat merespon Telegram yang mengambat proses kerja jurnalistik dan transparansi di negeri ini,” ujarnya.
3 Pasal Pada UU ITE Ancam Kebebasan Pers
AJI menilai masih ada tiga pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang perlu direvisi.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Erick Tanjung mengatakan perlunya revisi terhadap tiga pasal tersebut karena pasal-pasal tersebut dinilai menghambat bahkan mengancam kebebasan pers.
Pasal pertama, kata Erick, adalah pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.
Menurut Erick pasal tersebut sudah banyak memakan korban di kalangan jurnalis.
Contohnya, kata dia, kasus jurnalis Banjarhits Diananta di Banjarmasin yang dipidana dan dikriminalisasi dengan pasal tersebut meskipun perkara pemberitaan yang mengawalinya sudah ditangani di Dewan Pers.
"Kemudian ada satu lagi, Asrul, jurnalis di Palopo, saat ini di tahapan naik di persidangan. Dia mendapatkan kriminalisasi dengan menggunakan pasal 27 ayat 3 ini," kata Erick.
Erick melanjutkan, pasal kedua yakni pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.
Menurut Erick Diananta dan Asrul juga dikenakan pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.
"Artinya orang yang tidak suka dengan pemberitaan melakukan kriminalisasi dengan menggunakan pasal ini," kata Erick.
Pasal ketiga, kata dia, adalah pasal 40 ayat 2b soal kewenangan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dalam sistem elektronik.
"Ini terjadi pada 2019 lalu, Presiden Jokowi melalui Menkominfo menutup, memutus akses jaringan internet di Papua dan Papua Barat dengan pasal ini. Artinya hak publik mengakses informasi yang dijamin konstitusi ini dikorbankan," kata Erick.
Diberitakan sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan kesimpulan dari tim kajian Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bentukan pemerintah.
Mahfud menjelaskan setidaknya ada empat poin dalam kesimpulan yang telah dibuat oleh Tim Kajian UU ITE.
Pertama, kata dia, Undang-Undang ITE masih sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan menghukumi dunia digital.
Di banyak negara di dunia sekarang, kata Mahfud, hukum pidana terkait dunia digital justru sedang dibenahi.
Mereka yang belum memiliki hukum serupa, kata dia, maka membuatnya dan mereka yang sudah punya menelaaah untuk lebih ketat karena dunia digital semakin jahat.
Oleh sebab itu pemerintah Indonesia mengikuti apa yang dilakukan oleh negara-negara tersebut.
"Masih sangat diperlukan oleh sebab itu tidak akan ada pencabutan UU ITE," kata Mahfud saat konferensi pers pada Kamis (29/4/2021).
Kedua, kata dia, akan dibuat pedoman teknis dan kriteria implementasi yang nantinya akan diwujudkan dalam bentuk SKB tiga Kementerian dan Lembaga yaitu Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri untuk mengatasi kecenderungan salah tafsir dan ketidaksamaan penerapan.
Buku tersebut, kata Mahfud, nantinya berupa buku saku atau buku pintar yang ditujukan baik kepada wartawan, masyarakat, maupun kepada Polri dan Kejaksaan di seluruh Indonesia.
Ketiga, kata dia, ada revisi semantik berupa perubahan kalimat atau revisi terbatas yang sangat kecil berupa penambahan frasa atau perubahan frasa.
Selain itu, kata dia, ada penambahan di bagian penjelasan misalnya pada kata penistaan, fitnah, dan keonaran.
"Memang kemudian untuk memperkuat itu memang ada penambahan satu pasal, yaitu pasal 45 C," kata Mahfud.
Terkait dengan pasal 45 C, Mahfud tidak menjelaskan lebih jauh.
Namun dalam salinan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut, pasal 45, 45 A, dan 45 B Undang-Undang tersebut terkait dengan besaran ancaman hukuman kurungan penjara dan denda terhadap para pelanggar.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.