Kepatuhan Hukum Dunia Siber Tergantung Subjeknya, Ini Penjelasan Ahli Pidana
"Penguatan Polri dalam bidang siber telah membuka perspektif baru tentang penegakkan hukum atau gakkum," ujar Firman Wijaya.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli pidana dari Universitas Krisnadwipayana Firman Wijaya memberikan apresiasi atas kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam capaian 100 hari kerja.
Menurutnya, transformasi Polri menuju prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan (PRESISI) telah membentuk berbagai program terobosan yang mengarah pada polisi sebagai aparatur penegak hukum di masa depan.
“Perubahan fundamental paling terlihat adalah bergesernya penilaian kinerja dari basis statistik menjadi basis dampak terhadap masyarakat."
"Ini artinya, Polri turut membangun budaya hukum di masyarakat agar hukum dapat hidup sebagai norma aturan dalam membangun ketertiban sosial,” jelasnya.
Dengan upaya-upaya dasar yang dibentuk ini, kedepannya cara pandang bangsa terhadap institusi kepolisian akan terus berkembang sesuai konteks zaman.
Sebagai sebuah analogi, kata Firman, kejahatan sebagai fenomena sosial juga terus berkembang mengikuti kemajuan masyarakat.
Baca juga: Virtual Police Polri Dinilai Berhasil Menciptakan Ruang Siber yang Damai dan Sehat
Karena itu perangkat hukum yang terdiri dari aturan hukum (legal substance) dan aparaturnya (legal structure) harus beradaptasi agar hukum dapat melingkupi semangat zaman.
Baca juga: Penegakan ODOL, 15 Truk di Aceh Dipotong karena Tak Sesuai Standar
“Saya melihat misalnya, penguatan Polri dalam bidang siber telah membuka perspektif baru tentang penegakkan hukum atau gakkum. Dan ini masih merupakan proses pencarian format yang belum selesai,” ujar Firman, Senin (10/5/2021).
Baca juga: Virtual Police Polri Dinilai Berhasil Menciptakan Ruang Siber yang Damai dan Sehat
Penulis buku ‘Whistle Blower Dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum’ ini juga menyebut terobosan paling seksis yang mengemuka dalam program Kapolri Listyo Sigit juga berupa penerapan keadilan restoratif atau restorative justice. Upaya ini diterapkan dalam delik Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengedepankan proses dialog dan mediasi antara korban dan pelaku.
“Upaya ini mengetengahkan delik aduan. Yang mana, hanya korban yang boleh membuat laporan kepolisian pada kasus ujaran kebencian, hoaks maupun penghasutan SARA di dunia maya,” jelasnya.
Mediasi kemudian didudukkan sebagai solusi setelah laporan kepolisian dibuat, artinya kata Firman, Polri mengetengahkan penyelesaian win win solution pada perkara antara korban dan pelaku.
Upaya ini membawa babak baru kejahatan siber atau kejahatan terkait komputer berbasis SARA.
Sebelumnya, Gakkum ansich langsung diterapkan sehingga mendorong tingginya statistik orang dihukum hanya karena ujaran di dunia maya atau yang terdokumentasi melalui foto, video, dan jejak digital.
“Setelah ada penerapan keadilan restoratif, angka kejahatan ujaran kebencian pasti menurun,” tegasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.