KSPI: THR, Mudik, dan TKA Merugikan Buruh
Di tengah pelarangan mudik yang mengakibatkan puluhan juta buruh tidak bisa mudik, rasa keadilan kaum buruh terciderai dengan maraknya TKA China.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan di tengah pelarangan mudik yang mengakibatkan puluhan juta buruh tidak bisa pulang ke kampung halamannya masing-masing, rasa keadilan dan kebangsaan kaum buruh terciderai dengan maraknya TKA China dan India bisa masuk ke Indonesia bak melenggang kangkung, bahkan dengan mencarter pesawat.
“Ibaratnya buruh dikasih jalan tanah yang becek, tetapi TKA diberi karpet merah dengan penyambutan yang gegap gempita atas nama industri strategis,” ujar Said Iqbal, kepada wartawan, Selasa (11/5/2021).
Situasi ini, lanjut Said Iqbal, diperparah dengan pembayaran THR yang jauh panggang dari api.
Menurutnya pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah hanya sekedar lip services.
Sementara sanksi yang akan diberikan kepada perusahaan yang tidak membayar THR sesuai ketentuan sejauh ini hanya retorika dari Menteri.
Baca juga: Polisi Amankan 4 Provokator Pemudik Terobos Barikade di Kedungwaringin
Bagi buruh, Said Iqbal mengatakan datangnya TKA China dan India dengan menggunakan pesawat carteran di tengah pandemi adalah sebuah ironi yang menyakitkan dan menciderai rasa keadilan.
Apalagi hal ini terjadi di saat jutaan pemudik yang menggunakan motor --bisa dipastikan mereka adalah buruh-- dihadang di perbatasan-perbatasan kota.
“Padahal buruh yang mudik tidak mencarter pesawat, tetapi membeli sendiri bensin motor dan makannya, di saat sebagian dari mereka uang THR-nya tidak dibayar penuh oleh pengusaha,” tegasnya.
Kedatangan TKA dari China dan India tersebut menegaskan fakta, bahwa omnibus law UU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan bahwa pemerintah ingin memudahkan masuknya TKA China yang mengancam lapangan pekerjaan pekerja lokal.
Padahal saat ini, rakyat Indonesia justru lebih membutuhkan pekerjaan, karena banyak yang ter-PHK akibat pandemi.
Baca juga: WNA Asal China Masuk Indonesia, Komisi IX: Wajib Karantina 14 Hari
“Itulah sesungguhnya tujuan omnibus law. Tadinya TKA yang masuk ke Indonesia harus mendapatkan izin tertulis dari Menteri Tenaga Kerja, sehingga TKA tidak mungkin bisa masuk ke Indonesia kalau belum mendapat surat izin tertulis,” ujar Said Iqbal.
"Fakta hari ini menjelaskan, berdasarkan omnibus law TKA yang masuk ke Indonesia tidak perlu menunggu memegang surat izin tertulis dari Menteri Tenaga Kerja, tetapi cukup si perusahaan pengguna TKA melaporkan rencana kedatangan TKA tersebut (RPTKA)," imbuhnya.
Akibatnya, jutaan buruh dilarang mudik bahkan disekat di perbatasan kota seperti warga kelas dua, tetapi TKA disambut sebagai warga kelas satu dengan alasan kebutuhan industri strategis.
Padahal boleh jadi TKA China dan India yang masuk ke Indonesia tersebut adalah buruh kasar (unskill workers) yang bekerja di industri-industri konstruksi, perdagangan, baja, tekstil, pertambangan nikel, dan industri-industri lain, yang semestinya bisa merekrut buruh lokal Indonesia.
Baca juga: Dirjen Imigrasi: 157 WN China ke Indonesia Bukan Kunjungan Wisata Tapi Keperluan Pekerjaan
Said Iqbal mengaku heran, yang selalu membantah dan membela keberadaan para TKA China tersebut adalah para pejabat Republik Indonesia, bukan perusahaan pengguna TKA tersebut.
Selain itu juga tidak pernah dijelaskan, di perusahaan mana saja (nama PT-nya) para TKA tersebut bekerja.
Oleh karena itu, KSPI dan buruh Indonesia menuntut stop mendatangkan TKA China dan negara lainnya ke Indonesia, terutama di masa pandemi dengan alasan apapun.
“Janganlah hukum tajam ke buruh Indonesia tetapi tumpul ke TKA China. Batalkan omnibus law UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Khususnya pasal tentang TKA dikembalikan bunyinya menjadi, “Setiap TKA yang datang ke Indonesia wajib mendapatkan izin tertulis dari Menteri Tenaga Kerja," ungkapnya.
Di samping itu, Said Iqbal menyampaikan, berdasarkan posko pengaduan THR yang dibentuk oleh KSPI, tercatat bahwa ada ratusan perusahaan yang tidak membayar THR sesuai dengan surat edaran Menaker tentang THR, yaitu THR harus dibayar paling lambat H-7, dibayar penuh, tidak dicicil, dan bilamana ada permasalahan maka harus dibayar H-1.
Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di Jakarta, Tangerang, Karawang, Cirebon, Batam, Banjarmasin, Medan, Deli Serdang, Boyolali, Brebes, Pekalongan, Makasar, hingga Sumbawa.
Baca juga: Kemnaker Terima 1.176 Pengaduan THR, Ini Cara Lapor Pelanggaran THR
Perusahaan tersebut bergerak di sektor industri outsourcing PLN, tekstil, garmen, sepatu, makanan dan minuman, serta industri padat karya lainnya.
Padahal perusahaan tersebut mampu dan masih beroperasi.
Tetapi sejauh ini tidak ada tindakan terhadap perusahaan yang tidak membayar THR sesuai dengan ketentuan tersebut.
“Kasus-kasus pembayaran THR yang tidak sesuai dengan suarat edaran Menaker bisa dijumpai di PT Pan Brothers di Boyolali, PT Agung Pelita Industrindo di Brebes, perusahaan tekstil di pekalongan, dan seluruh mayoritas outsourcing PLN di seluruh Indonesia serta perusahaan-perusahaan lain. Hal ini menjelaskan ketidakmampuan Menaker menegakkan aturan tentang THR,” tegas Said Iqbal.
“Sudahlah mudik dilarang, TKA dibiarkan masuk melenggang kangkung ke Indonesia di tengah pandemi dan lip services atau hanya pemanis bibir tentang pembayaran THR," imbuhnya.
"KSPI mendesak pemerintah bersikap adil, menegakkan aturan, dan menunjukkan keberpihakannya terhadap kepentingan nasional para buruh lokal, bukan TKA,” pungkasnya.