Pengamat Nilai Maraknya Politik Identitas Jadi Faktor Menurunnya Indeks Demokrasi
Pengamat nilai tren menurunnya indeks demokrasi di Indonesia menjadi satu di antara tantangan reformasi yang harus segera diselesaikan.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo menilai, tren menurunnya indeks demokrasi di Indonesia menjadi satu di antara tantangan reformasi yang harus segera diselesaikan.
Menurut Karyono, penguatan sistem demokrasi yang menjadi satu di antara tujuan reformasi masih menemui sejumlah kendala.
"Sejumlah indikator masih menunjukkan skor yang masih buruk, antara lain masalah kebebasan sipil dan pluralisme," kata Karyono kepada Tribunnews, Rabu (19/5/2021).
Baca juga: Akselerasi Reformasi Birokrasi, Risma Ingin Genjot Kualitas SDM Kemensos
Hal ini bisa dilihat dari angka Indek Demokrasi Indonesia (IDI) berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) 2018–2019 yang menunjukkan penurunan pada aspek Kebebasan Sipil sebesar 1,26 poin (dari 78,46 menjadi 77,20).
Selain itu, Karyono menilai, aspek yang paling parah, yang skalanya masih di bawah 60 adalah masalah ancaman maupun penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, dengan skala 57,35.
Laporan terbaru dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang mengukur pelaksanaan kinerja Demokrasi negara-negara di dunia pada 2020 juga menunjukkan skor Indeks Demokrasi Indonesia mengalami penurunan.
Baca juga: Presiden: Rencana Kerja Pemerintah 2022 Usung Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural
Indeks Demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dari 167 negara dengan skor 6.3.
Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, skor tersebut menurun dari yang sebelumnya berada di angka 6.48.
"Peringkat Indonesia di kawasan Asia Tenggara berada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina," jelasnya.
Karyono mengatakan, masalah yang disinyalir menjadi penyumbang penurunan Indeks Demokrasi Indonesia antara lain ancaman terhadap kebebasan sipil dan maraknya politik identitas yang berujung pada tindakan intoleransi yang disertai ujaran kebencian, ancaman hingga tindakan kekerasan.
Politik identitas tersebut memuncak mewarnai momentum politik sejak pilkada DKI Jakarta 2017, pemilu 2019, hingga pasca pemilu.
Baca juga: Reformasi Birokrasi ASN di Daerah Diperluas, Naik Pangkat Tiap 2 Tahun dan Usia Pensiun Ditambah
Ancaman serius terhadap demokrasi muncul dari ormas islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menilai sistem pemerintahan demokrasi dan Pancasila adalah thaghut.
Bahkan HTI secara terang-terangan ingin mengganti sistem pemerintahan demokrasi yang berdasarkan Pancasila dengan sistem khilafah.
Pada saat yang sama Front Pembela Islam (FPI) kerap dituding sebagai biang kerok ormas berpaham radikal-ekstrem yang menebarkan paham intoleran dan tak jarang menempuh jalan kekerasan sebagai metode perjuangannya.
Akhirnya, dua ormas islam tersebut dinyatakan sebagai ormas terlarang oleh pemerintah karena bertentangan dengan undang-undang ormas.
Namun demikian, langkah pemerintah dipandang oleh sebagian pihak sebagai tindakan yang mengancam kebebasan berpendapat dan berserikat. Masih ada pro dan kontra.
"Perbedaan pandangan ini menunjukkan anomali. Di satu sisi pemerintah dinilai menabrak demokrasi di sisi lain justru menyelamatkan demokrasi dari ancaman kelompok tertentu," ucap Karyono.
Baca juga: Refly Harun dan 5 Ahli Lainnya Dihadirkan Kubu Habib Rizieq dalam Sidang Lanjutan Hari Ini
Perbedaan pandangan terkait larangan dua ormas tersebut tentu sulit dihindari karena perbedaan pendapat itu adalah bagian dari demokrasi itu sendiri.
Tetapi, pelaksanaan demokrasi harus berjalan di atas rel konstitusi dan regulasi agar demokrasi tidak memakan anak kandungnya sendiri.
"Dengan kata lain, aturan diperlukan agar demokrasi berjalan dengan baik," tutupnya.