Hari Ini dalam Sejarah, Rezim Orde Baru Tumbang, Soeharto Lengser Setelah Berkuasa 32 Tahun
Tepat Kamis, 21 Mei 1998 pada pukul 09.00 WIB Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Hari ini tepat 23 tahun silam, 21 Mei 1998, adalah hari bersejarah bagi Indonesia.
Ini adalah hari dimulainya era Reformasi dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Adapun Soeharto melalui “kudeta yang merangkak” secara perlahan menurunkan Presiden Soekarno, Proklamator Kemerdekaan RI, melalui Surat Perintah 11 Maret 1966.
Baca juga: Cerita Sakimin, Kakek 88 Tahun Jualan Bakso Sejak Era Soeharto, Titip Salam Buat Jokowi
Tepat Kamis, 21 Mei 1998 pada pukul 09.00 WIB Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pengunduran diri dari jabatan presiden ini setelah sejak Maret terjadi aksi unjuk rasa yang dimotori aktivis dan mahasiswa.
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998," kata Soeharto dalam pidatonya di Istana Merdeka Jakarta, yang disiarkan secara nasional melalui televisi dan radio.
"Sesuai dengan Pasal 8 UUD 45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof H BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003," ucap Soeharto meneruskan pidatonya.
Soeharto yang lahir di Kemusuk, Yogyakarta, 8 Juni 1921 itu pun kemudian meninggalkan istana diikuti oleh putrinya yang saat itu menjabat menteri sosial, Siti Hardiyati Indra Rukmana.
Habibie kemudian dilantik menjadi Presiden RI di termpat yang sama dengan Soeharto saat menyatakan pengunduran diri
Berkat perjuangan mahasiswa dalam gerakan reformasi Soeharto jatuh dari kekuasaannya. Aksi anti-Soeharo ini dimulai sejak pria berjuluk The Smiling General itu menyatakan bersedia untuk dipilih kembali sebagai presiden setelah Golkar memenangkan Pemilu 1997.
Apalagi setelah terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996 di kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat yang mana PDI diobok-obok oleh tangan rezim militer Orde Baru.
Pemerintah Soeharto dituding sebagai dalang kudeta terhadap Megawati Soekarnoputri dari jabatan Ketua Umum PDI dengan cara kotor dan kasar sehingga menimbulkan dualisme partai.
Popularitas Megawati yang saat itu meroket memang ancaman bagi kekuasaan yang digenggam oleh Soeharto, Golkar, dan ABRI.
Pasca 27 Juli 1996 juga terjadi serangkaian penculikan terhadap aktivis antiorba.
Aksi mahasiswa yang semula dilakukan di dalam kampus, kemudian beralih ke luar kampus setelah Soeharto terpilih sebagai presiden untuk periode ketujuh dalam Sidang Umum MPR 10 Maret 1998.
Ekonomi Indonesia saat itu pun kian terpuruk setelah nilai rupiah jatuh dan harga-harga kian mahal.
Aksi mahasiswa dibalas dengan kekerasan oleh ABRI. Bukan tuntutan perbaikan ekonomi saja yang diinginkan mahasiswa namun pergantian kepemimpinan nasional.
Dilansir dari dokumentasi Kompas, aksi mahasiswa di Yogyakarta yang ditangani represif oleh aparat keamanan pada 8 Mei 1998 menyebabkan tewasnya Moses Gatutkaca. Mahasiswa Universitas Sanata Dharma itu meninggal akibat pukulan benda tumpul.
Tragedi kembali terjadi saat aparat mengatasi demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas akibat ditembak peluru tajam milik aparat keamanan.
Aksi penembakan peluru karet dan peluru tajam serta pemukulan oleh aparat keamanan juga menyebabkan lebih dari 200 orang terluka. Sehari kemudian, pada 13-15 Mei 1998, terjadi sebuah kerusuhan bernuansa rasial di Jakarta dan sejumlah kota besar.
Pada 18 Mei 1998, aksi mahasiswa dalam jumlah akbar berhasil menguasai gedung DPR/MPR. Saat itulah, posisi Soeharto semakin terpojok. Sebab, pada hari itu juga pimpinan DPR/MPR yang diketuai Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Namun, Soeharto berusaha melakukan perlawanan. Salah satunya menawarkan pembentukan Komite Reformasi sebagai pemerintahan transisi hingga dilakukannya pemilu berikutnya.
Soeharto pun menawarkan sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid untuk bergabung. Namun, sejumlah tokoh yang ditemui Soeharto pada 19 Mei 1998 itu menolak.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais saat itu juga mempermasalahkan ketidakjelasan kapan pemilu itu akan dilakukan.
Menurut Amien Rais dan sejumlah tokoh, Komite Reformasi merupakan cara Soeharto untuk mengulur waktu dan tetap berkuasa.
Soeharto semakin terpukul setelah 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menolak bergabung dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle.
Kegalauan sang Jenderal penumpas PKI itu mencapai puncaknya pada Rabu malam itu, 20 Mei 1998, pada 100 tahun perayaan Kebangkitan Nasional.
Atas sejumlah pertimbangan, Soeharto pun memutuskan untuk mundur esok harinya, 21 Mei 1998. (tribunjabar/adityas/kompas.com)
Artikel ini telah tayang di TribunCirebon.com dengan judul 21 Mei 1998, 23 Tahun Lalu Soeharto Lengser Setelah Berkuasa 32 Tahun, Era Reformasi pun Dimulai