Kata Pengamat Ekonomi, UU Larangan Minol Akan Berdampak Positif Bagi Perekonomian
Bhima Yudhistira mengatakan penerimaan yang dihasilkan dari cukai minuman keras tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan dari konsumsi minuman
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan penerimaan yang dihasilkan dari cukai minuman keras tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan dari konsumsi minuman beralkohol, salah satunya sektor ekonomi.
"Keuntungan negara bisa dilihat dari penerimaan cukai minuman beralkohol dan etil alkohol nilainya masing-masing Rp5,76 triliun dan Rp240 miliar sepanjang 2020. Jika digabungkan nilainya cuma Rp6 triliun atau setara 3,5% dari penerimaan cukai hasil tembakau (rokok). Jadi kecil sekali sebenarnya keuntungan yang diperoleh negara," ujar Bhima, kepada wartawan, Senin (24/5/2021).
Sementara, lanjut Bhima, dampak dari peredaran Minol ini sangat berisiko bagi perekonomian.
Dikatakannya, jika mengambil studi yang dilakukan Montarat (2009) pada 12 negara menyebutkan bahwa beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45% hingga 5,44% dari PDB.
"Jika dilihat, angka PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp15.434 triliun. Jika mengambil angka yang sama dengan Amerika Serikat atau 1,66% maka di Indonesia kerugian setara dengan Rp256 triliun," katanya.
Dia menilai tentu beban ekonomi dari Minol ini sangat besar, bahkan lebih tinggi dari belanja kesehatan total di 2020 yakni Rp212,5 triliun.
Hal ini menandakan kerugian ekonomi berupa turunnya produktivitas masyarakat karena peredaran alkohol, tingkat kecelakaan dan gangguan kesehatan jangka panjang menghambat pencapaian bonus demografi yang berkualitas.
Baca juga: Semua Pihak Diminta Jangan Apriori dengan Kata Larangan di RUU Minol
"Kehilangan pendapatan negara dari cukai minuman beralkohol tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh jika minuman alkohol dilarang. Jadi adanya UU Larangan Minol justru positif bagi perekonomian," paparnya.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan banyak sektor yang lebih memberikan manfaat bagi ekonomi dan serapan tenaga kerja sebagai contoh sektor industri pengolahan, pertanian dan ekonomi digital.
"Untuk ekonomi digital saja diperkirakan nilainya akan menembus Rp1.748 triliun pada 2025. Investasi dan dukungan regulasi di sektor ekonomi digital telah terbukti membuka lapangan usaha baru setidaknya bagi jutaan tenaga kerja. Ini berbanding terbalik dengan sektor minol yang dampaknya cenderung kecil bagi tenaga kerja tapi merugikan ekonomi dalam jangka panjang," pungkas Bhima.