Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Garuda Indonesia Dikabarkan Terlilit Utang Rp 70 Triliun, Ini Kata Politikus Hanura

politikus Hanura Inas Nasrullah Zubir mengungkap analisnya mengapa kondisi keuangan Garuda Indonesia bisa seperti ini.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
zoom-in Garuda Indonesia Dikabarkan Terlilit Utang Rp 70 Triliun, Ini Kata Politikus Hanura
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Ketua DPP Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maskapai penerbangan pelat merah Garuda Indonesia, tengah mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat.

Seperti dilansir Bloomberg, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengatakan, bahwa Garuda memiliki utang sekitar Rp 70 triliun atau setara 4,9 miliar dollar AS.

Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok. Perusahaan memiliki arus kas negatif dan utang minus Rp 41 triliun.

Baca juga: Garuda dan Sriwijaya Air Tawarkan Pensiun Dini ke Karyawan, Ini Respons Pengamat hingga DPR

Terkait hal itu, politikus Hanura Inas Nasrullah Zubir mengungkap analisnya mengapa kondisi keuangan Garuda Indonesia bisa seperti ini.

"Pertama, akibat citra buruk perselisihan kerja. PT Garuda Indonesia Tbk sudah sering kisruh akibat persoalan internal antara manajemen dengan awak kabin dan serikat pekerjanya. Kisruh ini bukan hanya terjadi satu atau dua kali saja, melainkan long set dalam artian terjadi berulangkali," ujar Inas, ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (24/5/2021).

Baca juga: Ada Opsi Pensiun Dini untuk Karyawan Garuda dan Sriwijaya Air, Ini Kata Analis

Inas sendiri mencatat kurang lebih empat kali terjadi perselisihan antara manajemen Garuda Indonesia dengan pilot dan serikat pekerjanya.

Berita Rekomendasi

Dimulai dari tahun 1980 dimana mogok kerja pilot pertama kali terjadi. Kemudian, berlanjut di 2003 dengan adanya mogok awak kabin, menuntut perbaikan gaji.

Aksi mogok dilakukan dengan cara menunda jadwal keberangkatan pesawat selama satu jam pada 26 Januari sampai 1 Februari 2003.

Setelahnya mogok terbang oleh pilot Garuda dilakukan pada 2011 karena masalah gaji kembali. Dan terakhir pada 2018 lalu tercatat terjadi pemogokan disertai konferensi pers oleh awak kabin.

"Pemogokan-pemogokan tersebut tentunya sangat merugikan pelanggan Garuda sehingga disinyalir banyak pelanggan yang akhirnya beralih ke penerbangan lain. Akibatnya adalah menjadi salah satu penyumbang menurun-nya pendapatan usaha penjualan tiket penumpang Garuda," jelas Inas.

Dia mencontohkan penurunan average harga jual tiket penumpang dari 6,90 sen dolar AS pada 2016 menjadi sebesar 6,70 sen dolar AS di 2017.

Juga saham Garuda Indonesia dengan kode GIAA yang terus merosot dari harga IPO sebesar Rp750 per lembar saham pada 2011, menjadi Rp 292 per lembar saham pada April 2018.

"Citra buruk perselisihan kerja tersebut sangat merugikan Garuda dalam jangka panjang, sehingga akhirnya baik pilot dan karayawan harus merasakan juga dampak-nya terhadap masa depan mereka sendiri di Garuda," kata dia.

Selain itu, Inas menyoroti pula permasalahan mark up dan korupsi di tubuh Garuda Indonesia.

Dia merujuk pada statement Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra yang menyebutkan salah satu penyebab utama kerugian Garuda adalah pesawat Boeing 777 yang disewa sebesar 1,6 juta dolar AS per unit per bulan.

"Padahal harga sewa pesawat Boeing 777 di pasaran saat ini hanyalah 800 ribu dolar AS setiap per unit per bulan," ungkapnya.

Selain itu, lanjut Inas, berdasarkan informasi Angkasa Pura II kepada Komisi VI DPR periode 2014-2019, bahwa Pavement Classification Number (PCN) Boeing 777 adalah 120.

Sedangkan PCN landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta hanya 90, sehingga Boeing 777 Garuda tidak bisa full capacity pada saat take off, yakni hanya 65 persen saja.

"Akibatnya Garuda bukan saja jatuh tapi juga tertimpa tangga, oleh karena itu pemerintah harus menyelidiki apakah ada mark up dalam pengadaan sewa Boeing 777 tersebut dan jika terbukti ada oknum-oknum yang terlibat, maka harus diseret ke pengadilan," tegas Inas.

"Sedangkan korupsi yang terungkap angkanya tidak signifikan, yakni perkara suap sebesar Euro 1,2 juta dan USD. 180 ribu atau senilai total Rp 20 miliar serta dalam bentuk barang senilai USD 2 juta dolar AS, padahal bisa saja korupsi tersebut angkanya jauh lebih besar karena diduga berasal dari Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 senilai 15,6 triliun," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas