Pengacara Ungkap Kemungkinan Praperadilan RJ Lino Dikabulkan
KPK dinilai telah mengabaikan asas kepastian hukum dan asas penghormatan terhadap HAM yang seharusnya dipedomani oleh KPK dalam menjalankan tugas.
Penulis: Reza Deni
Editor: Dewi Agustina
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang putusan, kuasa hukum mantan Direktur Utama Pelindo II, Richard Joost Lino atau RJ Lino menilai soal kemungkinan praperadilan kliennya dikabulkan,
Menurut Agus Dwiwarsono, pengacara dari kantor hukum Dwiwarsono and Associates, frasa "dapat" pada Pasal 40 ayat (1) UU KPK tahun 2019 yang dipahami oleh KPK sebagai diskresi kewenangan, yaitu bisa ya atau bisa tidak untuk terbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah tidak tepat.
Menurutnya, KPK telah mengabaikan asas kepastian hukum dan asas penghormatan terhadap HAM yang seharusnya dipedomani oleh KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang diatur pasal 5 UU KPK 2019.
Dia mengatakan KPK melakukan penyalahpenetapan tersangka tidak berdasar dan tanpa proses hukum lanjutan hingga lebih dari lima tahun adalah melanggar HAM.
"Putusan Mahkamah Konstitusi No.70/PUU-XVII/2019 tanggal 4 Mei 2021, menegaskan apabila penyidikan dan penuntutan yang telah lewat waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak terbitnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak terbitkan SP3, maka merupakan hak tersangka untuk mengajukan praperadilan. Mestinya KPK terbitkan SP3 demi penghormatan Hak asasi manusia dan kepastian hukum ini RJ Lino bebas," tutur Agus dalam siaran pers yang diterima, Selasa (25/5/2021).
Penyidikan terhadap RJ Lino yang ditetapkan sebagai tersangka terhitung sejak Surat KPK Nomor SPDP-59/23/12/2015, tanggal 21 Desember 2015 hingga hari ini, dikatakan Agus, telah berjalan selama lebih dari lima tahun.
Baca juga: RJ Lino Tak Puas Jawaban KPK, Berharap Praperadilan Dikabulkan
"Dan terbukti tidak pernah ada tindakan dari KPK untuk menerbitkan SP3 atau melimpahkan perkara RJ Lino ke pengadilan untuk diperiksa dan diadili," tambahnya.
Agus mengatakan KPK tidak terbitkan SP3 merupakan tindakan pelanggaran norma Pasal 5 UU KPK tahun 2019, sehingga terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia dan membuat ketidakpastian hukum dalam penyidikan terhadap RJ Lino.
"Tidak diterbitkannya SP3 atas penyidikan terhadap RJ Lino yang perkaranya telah melewati batas waktu dua tahun dan tidak dilimpahkan ke pengadilan merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK tahun 2019," katanya.
Selain itu, Agus menuturkan putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017, menegaskan adanya perubahan sifat delik pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi dari “delik formil” menjadi “delik materiil”.
"Untuk menentukan adanya kerugian negara, diperlukan adanya pernyataan dari BPK untuk menilai dan menyatakan kerugian negara yang nyata dan pasti. Pernyataan tentang kerugian negara hanya dapat dilakukan oleh BPK selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional," tambah Agus.
Selain itu, dikatakan Agus, terdapat fakta bahwa BPK tidak melakukan penghitungan kerugian negara yang pasti dan nyata.
"Padahal sesuai UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2016 pada Rumusan Hukum Kamar Pidana," katanya.
"Dalam kasus ini ternyata KPK menghitung, menilai sendiri, dan menyatakan kerugian keuangan negara USD 22.828,94 atas pengadaan QCC Tahun 2010 di PT Pelindo II, yang dilakukan oleh Tenaga Ahli Accounting Forensic pada KPK sebagaimana laporan audit tertanggal 6 Mei 2021," sambung Agus.
"Padahal KPK tidak memiliki kewenangan konstitusional menyatakan (men-declare) kerugian negara, karena itu tindakan KPK ini merupakan penyalahgunaan wewenang," tambah Agus.
Laporan hasil penghitungan kerugian negara atas pengadaan QCC Tahun 2010 di PT Pelindo II, tertanggal 6 Mei 2021, yang dilakukan oleh Tenaga Ahli Accounting Forensic KPK (Vide Bukti T-47 dan T-48), ini dikeluarkan oleh KPK setelah lebih dari sebulan penahanan RJ Lino yaitu pada 26 Maret 2021.
Agus memberikan dasar yakni surat BPK Nomor: 56/S/II/10/2020, tanggal 20 Oktober 2020 perihal penyampaian LHP Investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengadaan QCC tahun 2010 PT Pelindo II dan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengadaan QCC Tahun 2010 PT Pelindo II.
"Dokumen tersebut menyatakan bahwa BPK tidak melakukan penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti atas pengadaan QCC tahun 2010 Pelindo II tetapi menemukan dugaan kerugian negara sebesar sebesar USD 22,898.94 ekuivalen sebesar Rp. 308.409.659,46 atas pemeliharaan QCC dari tahun 2012 s/d 2017," katanya.
Baca juga: KPK: Penahanan RJ Lino Sah Menurut Hukum
Dalam hal ini, lanjut Agus, KPK tidak memiliki wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan atas kerugian negara dibawah Rp. 1 milyar, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2) UU KPK tahun 2019.
"Karena itu tindakan KPK melakukan penyidikan dan penuntutan serta penahanan terhadap RJ. Lino merupakan penyalahgunaan wewenang atau Tindakan tanpa memiliki wewenang," tegasnya.
"Dengan kondisi ini, lanjut Agus, semestinya KPK dapat mematuhi Undang-undang No.19 Tahun 2019 yang memberikan diskresi kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap penyidikan dan penuntutan yang dalam 2 (dua) tahun tidak dilimpahkan ke pengadilan," pungkasnya.