Anis Matta: Perlu Sistem dan Strategi Pertahanan Baru Agar Kasus Kebocoran Data Tak Terjadi Lagi
Dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional, Indonesia bisa mencontoh China dan Rusia yang paling jarang mengalami kebobolan.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta segera merumuskan sistem dan strategi pertahanan baru di era digital. Hal ini menyangkut keamanan nasional pasca pembobolan 279 data WNI di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Sekarang baru kebobolan data BPJS, kita belum kebayang kalau data militer, kepolisian, dan seterusnya itu semua bobol. Ini yang kita belum kebayang," ujar Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) Anis Matta dalam Gelora Talk 'Sistem Keamanan Nasional di Era Digital di Gelora Media Centre, Jakarta, seperti dikutip Tribunnews.com dari keterangan tertulisnya, Minggu (30/5/2021).
Dalam diskusi yang juga dihadiri Menkominfo 2014-2019 Rudiantara, serta pakar intelijen dan keamanan Andi Wijayanto itu, Anis Matta menegaskan, dengan sistem pertahanan baru tersebut, maka akan cepat diketahui kelemahannya dimana, apabila keamanan digitalnya berhasil dibobol.
"Kalau kita bicara keamanan digital, ini hulu masalahnya di mana, kita tidak tahu. Sehingga di sisi pertahanan, kita perlu rumuskan sistem dan strategi pertahanan yang baru, serta independen dalam teknologi," katanya.
Menurut Anis Matta, dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional, Indonesia bisa mencontoh China dan Rusia yang paling jarang mengalami kebobolan, karena independen dalam teknologi.
"Mungkin karena kita nggak punya negara yang jadi musuh secara spesifik, kita jadi abai. Musuh kita di era digital, bukan negara, tapi korporasi kecil-kecil. Yang kerjaannya memang ngehack, mencuri data," tegas Anis Matta.
Baca juga: Projo: Kebocoran Data Nasabah BPJS Kesehatan Mencoreng Muka Pemerintah
Mantan Menkominfo Rudiantara mengungkapkan, Indonesia memang kerap menjadi sasaran serangan siber. Indonesia menjadi negara ketiga yang paling banyak mendapat serangan siber.
"Hari ini Indonesia masuk nomor 3 negara, setelah Mongolia dan Nepal, negara yang jadi target attack. Sampai jam hari ini sudah ada 8 juta attack di dunia, jadi setiap detik ada malware, bukan hacking, bukan phising," kata Rudiantara.
Malware adalah perangkat lunak yang ditujukan untuk memanipulasi hingga mencuri data digital.
Sedangkan hacking merupakan aktivitas penyusupan ke dalam sebuah sistem komputer ataupun jaringan dengan tujuan untuk menyalahgunakan ataupun merusak sistem.
Sementara phising adalah sebuah upaya menjebak korban untuk mencuri informasi pribadi, seperti nomor rekening bank, kata sandi, dan nomor kartu kredit.
Aksi phising bisa dilancarkan melalui berbagai media seperti e-mail, media sosial, panggilan telepon, dan SMS, atau teknik rekayasa sosial dengan memanipulasi psikologis korban.
"Ini terjadi ini dunia nyata kita, ini bukan menakut-nakuti. Ini memberi awarenesses betapa attack itu secara global terus menerus terjadi," jelasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.