75 Persen Orang Tua Dukung Belajar Tatap Muka, KPAI: Orang Tua Lebih Galak dari Guru saat Mengajar
sebagian besar guru dan orang tua murid mendukung rencana pemerintah menggelar sekolah tatap muka pada tahun ajaran baru atau Juli 2021.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Sekjen Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Dudung Abdul Qadir mengungkapkan sebagian besar guru dan orang tua murid mendukung rencana pemerintah menggelar sekolah tatap muka pada tahun ajaran baru atau Juli 2021.
Dudung membeberkan, berdasarkan survei yang dilakukan PGRI, 78 persen guru dan 75 persen orang tua murid ternyata ingin pembelajaran tatap muka (PTM) segera diselenggarakan.
”Survei pada teman guru bahwa 78 guru menginginkan tatap muka, 20 persen guru tidak ingin tatap muka atau tetap (pembelajaran) daring, sisanya tidak tahu,” kata Dudung dalam webinar pendidikan Vox Point pada Minggu (6/6/2021).
Baca juga: Skema Pembelajaran Tatap Muka Dibuka Mulai Juli, KPAI: Masih Banyak Guru Menolak Divaksin
Hampir sama dengan survei yang dilakukan PGRI pada profesi guru, dari 30 ribu orang tua yang disurvei 75 persen ingin segera dilakukan pembelajaran tatap muka, sementara 15 persen lainnya ingin pembelajaran tetap dilakukan secara daring, dan sisanya mengatakan tidak tahu.
Dudung mengatakan hasil survei ini perlu disikapi baik oleh pemerintah pusat dan daerah, pemangku kepentingan terkait, serta masyarakat.
Ia mengaitkan persoalan ini dengan kemungkinan terjadinya lost generation atau hilangnya generasi dan lost learning yang dikhawatirkan UNESCO akibat dampak pandemi Covid-19.
”Ini yang harus kita pikirkan semua sebagai insan pendidikan. Bukan persoalan menolak tatap muka atau menolak daring, tapi bagaimana mencari solusi yang baik,” ujarnya.
Pihak-pihak terkait menurutnya juga penting melihat bagaimana reduksi akibat pembelajaran tatap muka.
Hal ini dikarenakan ada banyak siswa yang tidak dapat melakukan pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 dan perlu dicarikan solusinya.
Baca juga: Imbas PJJ, Peserta Didik Butuh 9 Tahun Kejar Ketertinggalan
Baca juga: Curhat Guru Soal PJJ: Lebih Mengena Kalau Sekolah Tatap Muka
Namun ia menyayangkan statement Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nadiem Makarim yang bersikukuh dengan pernyataannya menggelar pembelajaran tatap muka.
Menurut Dudung, ini bukan terkait menolak atau tidak menolak, tapi sisi-sisi yang harus dicarikan solusinya.
"Jangan tiba-tiba menyampaikan informasi ke publik bahwa kita harus tatap muka. Kita lihat dulu datanya seperti apa dari gugus tugas," ujarnya.
Kendati ada data yang menunjukkan 54 persen sekolah sudah siap melaksanakan pembelajaran tatap muka, namun faktanya juga masih ada sisanya yang belum siap.
Oleh karena itu menurut Dudung perlu ada diskusi lebih lanjut dengan berbagai stakeholder pendidikan seperti Pemerintah Daerah, termasuk Satgas Covid-19 sebagai otoritas yang dapat menentukan apakah daerah-daerah sudah diperkenankan menyelenggarakan kegiatan PTM.
”Semua harus bersuara mencari solusi terbaik terkait dengan pandemi. Tapi bukan berarti yang baik adalah yang menolak PTM, tapi bagaimana PTM ini sehingga baik prosesnya dan hasilnya," kata Dudung.
Hasil Belajar Menurun
Dalam diskusi yang sama Wakil Sekjen PB PGRI Jejen Musfah mengatakan berdasarkan riset yang dilakukan Kemendikbudristek, pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat hasil belajar siswa menurun.
Salah satu penyebabnya belum meratanya jaringan internet di belasan ribu daerah.
"Riset Kemendikbud menyatakan PJJ itu mengakibatkan penurunan hasil belajar siswa, ini nasional risetnya. Kenapa? Sangat pantas karena masih ada 12.548 daerah yang blank spot internet. PJJ itu gimana kalau nggak ada internet, anak-anak naik ke gunung, naik ke pohon, dan lain-lain mencari titik yang ada itunya," kata Jejen.
Selain kendala jaringan internet, Jejen mengatakan kendala selanjutnya adalah soal literasi digital.
Menurutnya, tidak semua guru memiliki kemampuan menyampaikan materi pembelajaran secara digital.
"Belum lagi soal kapasitas dan literasi digital guru, mungkin internet ada, tapi guru mungkin tidak semua punya kapasitas menyampaikan pengetahuan dengan cara PJJ," ujarnya.
Tidak Siap
Jejen juga menuturkan tidak semua orang tua siap mendampingi anaknya belajar di rumah.
Dia menyebut, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait PJJ menunjukkan bahwa orang tua lebih galak dari guru saat sedang mengajar.
"Ternyata nggak gampang mendampingi anak belajar," tuturnya.
Lebih lanjut Jejen mengatakan pembelajaran tatap muka (PTM) harus dijalankan demi menutupi kekurangan PJJ.
Apabila dalam praktiknya ada yang terkonfirmasi positif Covid-19, kata Jejen, wajib menjalani isolasi mandiri selama dua pekan.
"Harus jalan (PTM) demi menutupi kelemahan pada PJJ, tapi seandainya ditemukan kasus, harus bersedia isolasi 14 hari kemudian buka lagi ada lagi isolasi dan seterusnya," imbuhnya.(tribun network/ras/dod)