Kemenag: Rumah Ibadah Bersejarah Tunjukkan Nilai Moderasi Agama Tinggi di Indonesia
Moderasi beragama dalam wujud rumah ibadah merupakan upaya menghadirkan solusi atas dua kelompok ekstrem antara liberalisasi dan konservatisme.
TRIBUNNEWS.COM – Indonesia memiliki banyak rumah ibadah bersejarah yang menjadi representasi dari setiap agama di Indonesia.
Bahkan, rumah ibadah kerap memiliki nilai budaya dengan daya magnetnya tersendiri bagi masyarakat, bagi lokal maupun mancanegara, baik untuk berkunjung, ibadah, penelitian, ataupun sekadar rekreasi. Semuanya bertujuan menghadirkan keharmonisan dalam kehidupan beragama di tengah masyarakat.
Yang menarik, policy paper Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI berjudul “Moderasi dan Tradisi Keagaman di Rumah Ibadah Bersejarah” meneliti sikap moderasi beragama di Indonesia melalui rumah ibadah dan tradisi keagaman.
Dalam praktiknya, moderasi beragama merupakan upaya menghadirkan jalan tengah atas dua kelompok ekstrem antara liberalisasi dan konservatisme.
Hal ini menjadi penting mengingat perbedaan keyakinan dalam beragama di Indonesia kerap berujung pada kejadian tak mengenakan, seperti penutupan paksa tempat ibadah sampai penyerangan rumah warga karena konflik antar kelompok.
Menurut penelitian dalam policy paper tersebut, Indonesia memiliki banyak rumah ibadah bersejarah yang terletak di berbagai kota dan daerah, di mana hampir semuanya menunjukkan adanya pengaruh kental dari tradisi keagamaannya.
Dari 31 rumah ibadah bersejarah yang diteliti di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, terbukti bahwa masalah perbedaan dapat diselesaikan dengan nilai dan keberagaman yang hadir pada wujud rumah ibadah tersebut.
Adapun yang menjadi sampel rumah ibadah bersejarah dari penelitian tersebut antara lain Masjid (Islam), Gereja (Katolik dan Protestan), Vihara (Buddha), Vihara Tridarma, dan Klenteng. Dari keseluruhan sampel, semuanya membuktikan bahwa masalah perbedaan bisa diselesaikan dengan merajut tradisi keagamaan, dan mengusung tradisi dan kearifan lokal.
Terdapat tiga faktor yang menunjukkan moderasi beragama dalam pembentukan rumah-rumah ibadah bersejarah tersebut, yaitu:
Nilai Toleransi
Nilai toleransi antarumat beragama dapat ditemukan pada rumah ibadah. Di Sumatera Utara misalnya, Masjid Lama Kabanjahe dan Masjid Nurul Iman dibangun di tengah daerah dengan mayoritas beragama kristen. Bahkan, dengan status kepemilikan Masjid Lama Kabanjahe tercatat dimiliki oleh masyarakat non muslim.
Toleransi umat beragama yang kuat dibuktikan dengan tidak adanya konflik keagamaan di wilayah tersebut.
Sementara itu, budaya toleransi dapat dilihat dari ikatan kekeluargaan dalam adat Dalihan Natolu dari masyarakat Toba dan Dalikan Sitelu dari masyarakat Karo. Hal itu dibuktikan dengan falsafah kebersamaan, sikap tenggang rasa, dan keterbukaan masyarakat Toba dan Karo terhadap etnis lain tanpa memandang agama.
Nilai Kerukunan
Nilai kerukunan dalam rumah ibadah bersejarah dapat terlihat dari adanya makam Muslim di dalam rumah ibadah agama lain. Misalnya, di Klenteng Bahtera Bhakti Ancol dan Cibinong.
Klenteng Bahtera Bhakti Ancol dijadikan tempat berziarah baik umat Konghucu dan umat Islam. Di dalam Klenteng ada makam orang-orang Muslim, yang dihormati oleh pemeluk atau mereka yang beragama Konghucu. Penghormatan terbukti dengan adanya tokoh penting beragama Islam yang bernama Ibu Sitiwati dan suaminya Sampoe Soe Soe.
Makam tersebut menjadikan Klenteng Ancol dikunjungi untuk berziarah baik umat Konghucu dan umat Islam.
Dua makam lainnya juga menjadi nilai berharga pada klenteng ini, yaitu makam Said Areli Dato Kembang dan Istrinya Ibu Eneng. Tradisi ziarah jelas terlihat dilakukan oleh umat maupun yang beragama lain dan berbeda dengan agama yang dipeluk umat Konghucu.
Bahkan, masyarakat mengadakan ritual ziarah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Umat Islam yang datang untuk berziarah hanya mengunjungi makam tokoh muslim yang ada di klenteng. Berbeda dengan apa yang dilakukan dengan umat Konghucu.
Pada komplek rumah ibadah di Cibinong, Bogor, adanya ruang altar Raden Suryakencana, menunjukkan bahwa budaya Tionghoa telah mengalami asimilasi budaya dalam Klenteng.
Etnis Tionghoa memperlihatkan bagaimana mereka dapat menghargai dan menghormati kepercayaan masyarakat setempat. Dari kedua contoh tersebut, rumah ibadah bersejarah dapat merepresentasikan nilai kerukunan antar agama.
Nilai Akulturasi
Nilai moderasi pada rumah ibadah berakulturasi antara budaya luar dengan kearifan lokal. Dari rumah ibadah bersejarah yang diteliti, terdapat banyak nilai budaya lokal dan budaya luar yang masuk ke dalamnya baik pada tradisi keagamaan maupun arsitektur bangunan rumah ibadah tersebut.
Misalnya, pada bangunan gereja Katolik Inkulturatif Pangururan, Samosir dan Inkulturatif St. Fransiskus, Asisi Berastagi. Kedua gereja ini tampak pada bangunannya menggunakan arsitektur dengan budaya Toba dan budaya Karo, yang diambil dari masing-masing rumah adat batak setempat.
Pada bangunan masjid ditemukan hal yang sama seperti yang terdapat pada bangunan masjid di Jawa dengan atap tumpangnya yang merupakan pengaruh agama Hindu-Budha.
Bahkan segi arsitektur bercorak Hindu-Buddha pada masjid-masjid tua di Cirebon sangat kental dengan model gapura ketika memasuki masjid dengan warna merah yang mencolok, seperti yang ada pada Masjid Merah Panjunan.
Rekomendasi penelitian untuk Kementerian Agama
Temuan penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai moderasi dan tradisi keagamaan yang ada di rumah ibadah bersejarah sangatlah kaya.
Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting berdasarkan data dari 31 (tiga puluh satu) rumah ibadah bersejarah yang diteliti
Pertama, budaya dan tradisi dan nilai-nilai moderasi yang ada pada rumah ibadah dapat menjadi contoh kearifan lokal yang terus dipromosikan ke dalam dan luar negeri.
Kedua, Pemerintah Daerah didorong terus memfasilitasi pertemuan antarumat beragama lewat berbagai jalur seperti FKUB, ormas sosial keagamaan dan sebagainya untuk merajut persaudaraan sebangsa dan setanah air.
Ketiga, Kemenag, baik di pusat dan daerah, perlu memberikan perhatian khusus kepada nilai-nilai moderasi yang ada pada rumah ibadah dengan memberikan ruang bagi kajian untuk melestarikan kearifan lokal dan tradisi keagamaan di setiap wilayah.
Keempat, Kemenag didesak melakukan pelestarian kebudayaan dalam bentuk pencatatan dan pemutakhiran data rumah ibadah bersejarah, sebab tidak sedikit rumah ibadah yang sudah punah dan akan punah karena kondisi yang mengkhawatirkan.
Terakhir, Kemenag perlu mempertimbangkan Sumber Daya Manusia yang paham tentang kajian, sejarah, budaya, bahasa lokal dan seni kedaerahan sebagaimana yang diamanatkan UU Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.