Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komnas HAM Sarankan Pemerintah dan DPR Kaji Ulang Usulan Revisi Terbatas UU ITE

Komnas HAM RI menyarankan pemerintah dan DPR mengkaji ulang usulan revisi terbatas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Komnas HAM Sarankan Pemerintah dan DPR Kaji Ulang Usulan Revisi Terbatas UU ITE
Tribunnews.com/Gita Irawan
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat (18/1/2019) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM RI menyarankan pemerintah dan DPR mengkaji ulang usulan revisi terbatas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga menegaskan bahwa dalam melakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi dalam revisi UU ITE agar dilakukan secara akuntabel, non diskriminatif, tidak multi tafsir, dan bisa diuji oleh publik berdasar Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi yang disusun Komnas HAM.

Adapun tolok ukur dalam menguji revisi UU ITE, kata dia, adalah legalitas, proporsionalitas, dan nesesitas. 

Artinya, lanjut dia, revisi atas UU ITE harus mampu menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang lebih kondusif.

"Oleh karena itu, Komnas HAM RI merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR RI untuk mengkaji ulang usulan revisi terbatas UU ITE, karena revisi terhadap empat pasal tersebut bukan solusi atas ancaman dan problem kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia," kata Sandrayati dalam keterangan resmi Komnas HAM pada Selasa (15/6/2021).

Pemerintah dan DPR RI, lanjut dia, harus mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai dasar pengambilan kebijakan maupun pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia. 

"Keterlibatan Lembaga Negara Independen serta koalisi masyarakat sipil dan akademisi diperlukan guna memastikan proses revisi UU ITE berjalan partisipatif, terbuka, dan non-diskriminatif," kata Sandrayati.

Berita Rekomendasi

Selain menyampaikan rekomendasi terkait usulan revisi UU ITE, Sandrayati juga menyampaikan enam sikap Komnas HAM.

Baca juga: Bahas Revisi UU ITE dengan Koalisi Masyarakat Sipil, Mahfud MD : Masukan Bisa Disampaikan ke DPR

Pertama, kata dia, keberadaan UU ITE telah mengancam hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Pada tahun 2020, kata Sandrayati, Komnas HAM RI menerima 22 aduan terkait UU ITE.

"Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Komnas HAM pada 2020 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, sebanyak 36,2% masyarakat merasa tidak bebas dalam menyampaikan ekspresinya di media sosial (internet)," kata Sandrayati.

Kedua, terjaminnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sangat penting dalam pelaksanaan negara demokratis sebagai bentuk pengawasan, kritik, dan saran dalam penyelenggaraan pemerintahan. 

"Pada negara demokratis, kedaulatan negara berada di tangan rakyat sehingga kehendak rakyat yang disampaikan melalui pendapat dan ekspresinya harus menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan," kata dia.

Ketiga, kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin diantaranya dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, kata dia, juga dijamin oleh berbagai instrumen HAM internasional seperti Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005.

"Keempat, Komnas HAM RI mendukung revisi UU ITE untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Revisi tersebut selayaknya mengedepankan prinsip-prinsip HAM karena seluruh kebijakan harus mengadopsi prinsip-prinsip dan norma HAM," kata dia.

Kelima, Komnas HAM RI mempertanyakan dasar pemerintah yang hanya akan merevisi Pasal 27, 28, 29, dan 36. 

Padahal, lanjut Sandrayati, terdapat pasal-pasal lain yang menjadi sumber pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, di antaranya Pasal 26 ayat 3 terkait penghapusan informasi, Pasal 40 ayat 2a dan 2b terkait pencegahan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses, serta Pasal 43 ayat 3 dan 6 terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.

Untuk itu, menurut Komnas HAM, revisi terbatas pada empat pasal dalam UU ITE bukanlah solusi atas ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. 

"Penambahan pasal baru yaitu Pasal 45C yang mengadopsi ketentuan peraturan perundangan-undangan tahun 1946 sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian sehingga menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia di ruang digital," kata dia.

Terakhir, Komnas HAM RI telah menyusun dan menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. 

"Komnas HAM RI mendorong dan merekomendasikan Pemerintah dan DPR RI agar memakai SNP tersebut sebagai pedoman dan penjelasan dalam merevisi UU ITE," kata Sandrayati.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas