Anis Matta: Sumpah Palapa Bisa Jadi Spirit Akhiri Pembelahan Sosial dan Politik di Masyarakat
Anis Matta menilai Sumpah Palapa yang bisa menjadi spirit untuk mengakhiri pembelahan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menilai Sumpah Palapa yang digaungkan Mahapati Kerajaan Majapahit Gajah Mada bisa menjadi spirit untuk mengakhiri pembelahan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat.
Residu pembelahan hingga kini tak kunjung usai, bahkan mulai menunjukkan peningkatan ekskalasinya jelang Pemilu 2024.
“Ada dua sumpah yang menginspirasi kami di Partai Gelora, pertama Sumpah Palapa dan kedua Sumpah Pemuda. Kedua sumpah ini menjadi ilham bagi para pendiri bangsa yang waktu itu ingin merumuskan identitas baru, bernama Indonesia,” kata Anis Matta saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talk4 dengan tema ‘Pembelahan Politik di Jagat Media Sosial: Residu Pemilu yang Tak Kunjung Usai’ usai” di Jakarta, Selasa (22/6/2021).
Baca juga: Elektabilitas Gelora Tertinggi di Antara Partai Baru, Mahfuz: Wajib Lolos Ambang Batas Parlemen
Dalam diskusi yang menghadirkan narasumber Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfuz Sidik, peneliti komunikasi dan politik Guntur F. Prisanto, penggerak JASMEV Dyah Kartika Rini dan penggerak Relawan Ganti Presiden (RGP) Ari Saptono itu, Anis Matta mengatakan, Sumpah Palapa Gajah Mada tidak hanya menginspirasi Partai Gelora, tapi juga memberi ilham bagi Mohammad Yamin, tokoh pemuda untuk mempelopori Sumpah Pemuda.
“Itu sebabnya, Mohammad Yamin otak dibalik Sumpah Pemuda menulis panjang tentang Gajah Mada yang bisa mengkonsolidasikan seluruh potensi dan bisa fokus menyelesaikan krisis sistemik yang terjadi saat itu,” katanya.
Karena itu, Sumpah Palapa Gajah Mada, lanjut Anis Matta, juga bisa menjadi tekad untuk melahirkan sumpah ketiga, yakni Sumpah Tekad Indonesia untuk keluar dan bangkit dari krisis, sehingga mampu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan lima besar dunia.
“Andaikata Gajah Mada dan para perintis Sumpah Pemuda masih ada, mereka semuanya akan ada dalam forum diskusi kita ini. Untuk melihat persoalan yang kita bahas, dimana kita tidak tahu arah sejarah yang sedang kita tuju, ada semacam kebingungan kolektif yang mendera para pemimpin kita saat ini,” kata Anis Matta berandai-andai.
Baca juga: Partai Gelora: Pembubaran Negara Israel, Alternatif Solusi yang Harus Dipikirkan PBB
Sementara Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia Mahfuz Sidik menilai apabila pembelahan sosial dan politik di masyarakkat segera tidak diakhiri, maka bisa menyebabkan terjadinya fail state (negara gagal) dan berujung bubarnya negara.
“Pembelahan sosial dan politik yang terbiarkan, residunya akan semakin mengental dan dapat menyebabkan fail state, negara gagal. Di beberapa negara pembelahan menjadi pemicu negara bubar, sehingga harus ada solusi segera untuk mengkahiri,” kata Mahfuz.
Namun, peneliti komunikasi dan politik Guntur F. Prisanto berpendapat pembelahan sosial politik di media sosial (medsos) bukanlah cerminan realita sesungguhnya, hanya sekedar gambaran di dunia maya saja.
“Sebab pembelahan sosial adalah keniscayaan dalam politik, karena penganut demokrasi liberal perlu mengindentifikasi secara tegas pilihannya. Parpo-lah yang bertanggungjawab untuk mencairkan politik identitas ini,” kata Guntur.
Baca juga: Sahabat Ganjar Dorong Gubernur Jawa Tengah Maju dalam Pilpres 2024 Mendatang
Hal senada diamini Dyah Kartika Rini, penggerak JASMEV.
Dyah menilai bisa saja masyarakat tertentu hanya ingin menunjukkan pilihan dukungan dan politik di medsos saja, tetapi tidak dunia nyata.
“Boleh jadi dia amat garang di medsos, tetapi sangat berbeda di dunia nyata. Pembelahan sosial sebenarnya sudah dimulai dari Pilkada DKI 2012 lalu, jadi kalau dihitung sudah berlangsung 9 tahun,” kata Dyah.
Sedangkan penggerak Relawan Ganti Presiden Ari Saptono menegaskan, pada titik tertentu politik identitàs Ini justru menguntungkan para calon kadindat independen seperti yang terjadi dalam Pilkada Serentak 2020 lalu, karena mereka dianggap masih bersih dan tidak terlibat konflik kepentingan selama ini.
“Lebih dari 50 persen calon independen dalam Pilkada menang seperti di Lampung dan beberapa kota di Kalimantan Tiimur. Masyarakat sudah apatis dan jenuh dengan partai politik, lalu memilih calon alternatif yang relatif masih Murni,” kata Ari Saptono.