Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jika Presiden Tiga Periode, Indonesia Terancam Terjerumus Kembali ke Absolutisme Seperti Orde Baru

Jika periode jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode, maka Indonesia terancam akan terjerumus kembali ke absolutisme kekuasaan seperti Orde Bar

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Jika Presiden Tiga Periode, Indonesia Terancam Terjerumus Kembali ke Absolutisme Seperti Orde Baru
foto: Agus Suparto/IST
Pertemuan Menhan Prabowo Subianto dengan Presiden Jokowi di Istana Yogyakarta, Rabu (1/1/2020). Jika Presiden Tiga Periode, Indonesia Terancam Terjerumus Kembali ke Absolutisme Seperti Orde Baru 

Kemunduran kedua, kata dia, sudah mulai dirasakan yaitu melemahnya oposisi partai-partai politik.

Qodari, Presiden Tiga Periode dan Jokowi-Prabowo di 2024

Sebelumnya Penasehat Komunitas Jokowi- Prabowo 2024 (JokPro 2024), M. Qodari mengungkap alasan mendorong agar Presiden Joko Widodo bisa kembali maju di Pilpres 2024, berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Menghindari polarisasi dalam masyarakat pada Pemilu Presiden 2024 mendatang menjadi alasan mendorong Jokowi berpasangan dengan Prabowo di Pilpres 2024.

Qodari menilai Pilpres semakin lama semakin keras dari tahun ke tahun terakhir. Bahkan menurutnya, Pilpres terakhir-terakhir ini tidak sama dengan pemilu tahun 2004 tahun 2009. Kenapa tidak sama?

”Karena pertama, sekarang kita hidup di zaman politik identitas. Ini terjadi secara globalm bukan hanya terjadi di Indonesia.”

“Kedua yang juga baru adalah kita hidup di zaman medsos. Manusia sekarang hidup dalam dua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Dunia medsos ini ternyata punya logikanya sendiri yang namanya logika algoritma biner dan itu menciptakan fenomena yang namanya ruang gema atau echo chamber,”: ujar Qodari dalam Diginas Tribun Network: “Pro-Kontra Presiden Tiga Periode dan Pasangan Jokowi-Prabowo,” Kamis (24/6/2021).

Berita Rekomendasi

Hal itu kata dia, manifestasinya terlihat di Pilpres 2019 lalu dalam wujud kategorisasi cebong dengan kampret. Polarisasi ini telah mengakibatkan kerusuhan di 2019. Misalnya tatkala gedung Bawaslu diserbu habis-habisan, terjadi bentrokan di sejumlah lokasi di Jakarta.

Bila bukan Jokowi-Prabowo yang menjadi pasangan calon di 2024, maka dia khawatirkan akan terjadi kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar lagi dan banyak korban jiwa jatuh.

“Sehingga saya melihat nanti 2024 kalau kalau polanya tetap seperti ini, katakanlah calonnya bukan Jokowi-Prabowo, maka terjadi yang dikhawatirkan akan banyak korban yang meninggal, terjadi penyerbuan ke gedung MPR, petugas kelelahan, kecapaian jadi korban. Kemudian ada kena peluru nyasar kayak 2019 itu, ada orang seperti Yunarto Wijaya menjadi target pembunuhan. Itu dalam skala yang berlipat dari sebelumnya yang sudah kita lihat. Singkatnya Indonesia akan memenuhi teori dari pemilu menuju kekerasan,” jelasnya.

Atas dasar itu lah, lanjut dia, dirinya berpikir mengenai solusi untuk hal itu.

“Saya melihat solusinya ada pada Jokowi dan Prabowo,” ucapnya.

Kenapa Jokowi-Prabowo?

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo (seno)

Karena memang dua tokoh ini yang selama ini merupakan representasi dari pilihan masyarakat Indonesia. Hal itu sudah terlihat dan dibuktikan dalam pilpres 2014 dan 2019.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas