Polemik PP Nomor 23 Tahun 2021, PDIP Minta Dievaluasi Demi Hutan Lestari
Menyikapi polemik terkait Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 (PP 23/2021) Tentang Penyelenggaraan Kehutanan
Editor: Hasanudin Aco
Lahan Kompensasi terhadap PNBP Kompensasi, di antaranya, IPPKH dengan Lahan Kompensasi, ada penambahan kawasan hutan dan penutupan hutan, meningkatkan ekonomi dan pendapatan masyarakat dari pembelian lahan dan kegiatan penanaman hutan.
“Negara tidak mengeluarkan biaya rehabilitasi hutan karena lahan diserahkan dalam bentuk hutan. negara mendapatkan nilai tambah dan manfaat lingkungan,” kata politisi PDIP tersebut.
Di lain hal, tambahnya, perubahan aturan penggunaan kawasan hutan dari kewajiban lahan kompensasi menjadi PNBP mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat.
“Penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari. Jika hutan terus berkurang, banteng akan kehilangan habitatnya. Jadi, hutan harus tetap lestari dengan regulasi yang benar,” kata Sudin.
Selanjutnya, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga selaku penanggap dari para narasumber mengatakan, pengelolaan hutan harus sebisa mungkin mempertimbangkan kelestarian hutan dan aspek penegakan HAM.
“Sejarah kelam kehutanan Indonesia dimulai dengan penetapan “Kawasan hutan” secara sepihak pada tahun 1970-an sampai dengan 1980-an dengan menegasikan keberadaan hak-hak individu dan komunal masyarakat yang diakui oleh UUPA karya besar Presiden Soekarno, yang kemudian dengan penegasian keberadaan hak-hak individu dan komunal masyarakat tersebut berimbas pada hampir 70% wilayah Indonesia dinyatakan sebagai kawasan hutan dan dikelola sebagai “hutan negara” tanpa proses tata batas yang semestinya,” ungkapnya.
Di lain hal, masih sangat tingginya pelanggaran hak asasi manusia di kawasan hutan seperti hak hidup, hak atas lingkungan hidup yang baik dan bersih, hak atas rasa aman, hak atas kekayaan, hak atas pekerjaan, hak atas tempat tinggal, hak atas pangan, dan lain-lain.
“Minimnya pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat mereka, paska Putusan MK No. 35/PUU-X-2012: upaya percepatan oleh Menteri LHK tetapi terkendala persyaratan administratif dan belum tersedianya mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif,” tandas Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI tersebut.
Sandrayati juga mendorong agar, saatnya Pimpinan Pusat dan Daerah seluruh jajaran kader dan pengurus PDIP bersama-sama pemerintah dan masyarakat, khususnya para korban, untuk melihat kembali pengelolaan sumber daya alam secara menyeluruh secara ekonomis, ekologis dan sosial, tidak cukup hanya berkutat pada PP Nomor 23 Tahun 2021 ini saja.
“Kita juga perlu mendorong agar dilaksanakannya Ketetapan MPR No. IX/2001 dengan menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini,” tutupnya.