Jelang COP UNFCCC di Glasgow: Menteri LHK Beri Arahan pada Calon Delegasi yang Jadi Negosiator
Indonesia termasuk salah satu negara yang turut ambil bagian dalam perundingan tersebut yang juga telah meratifikasi Perjanjian Paris.
Editor: Johnson Simanjuntak
Prestasi Indonesia
Ketiga, Menteri Siti kemudian menyakinkan kepada calon delegasi, bahwa Indonesia cukup baik dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Pada forum multilateral, Indonesia seringkali menjadi sorotan atas capaian, prestasi, dan kebijakan yang menawarkan solusi. Sedangkan secara bilateral, Indonesia di berbagai kesempatan didekati oleh negara yang dengan maksud untuk menjadi mitra dalam menangani perubahan iklim.
Kebakaran hutan di tahun 2015 dengan luas areal terbakar 2,6 juta ha dari interpretasi citra satelit, serta 1,6 juta hektar pada tahun 2019, memberikan pelajaran sangat berharga dan kemudian terus diupayakan dengan kerja keras untuk dapat diatasi.
Akhirnya pada tahun 2020 ditetapkan kebijakan dan langkah pencegahan secara permanen melalui upaya-upaya yaitu: monitoring hotspot dan patroli, sistem paralegal untuk membangun kesadaran bersama masyarakat, teknik modifikasi cuaca, tata kelola gambut, dan penegakkan hukum.
"Tidak mudah penyelesaian selama beberapa tahun, dan dalam turbulensi interaksi yang cukup berat antar berbagai elemen stakeholders, terutama dengan dunia usaha. Dan di tahun 2020 kemarin kita berhasil menekan areal kebakaran hutan hanya menjadi sekitar 290 ribu hektar," terang Menteri Siti.
Pada konteks emisi karbon, bisa dihitung emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2015 sebesar 1,5 Gton CO2 eq, pada tahun 2019 menjadi 0,9 Gton CO2eq. Diantara 0,9 Gton CO2eq tersebut, yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan tercatat sebesar 0,45 Gton CO2 eq; dan pada tahun 2020 turun menjadi 0,03 Gton CO2 eq.
"Ini artinya bahwa kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, dengan pencegahan permanen, telah menunjukkan hasil kerja cukup baik dan masih harus dipertahankan dan untuk terus ditingkatkan," ungkap Menteri Siti.
Kemudian, terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan menjadi perhatian banyak negara, Menteri Siti menegaskan bahwa Indonesia mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990.
Faktanya, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 hingga 2000, yaitu sebesar 3,5 juta ha per tahun. Kemudian pada periode 2002 hingga 2014, menurun hingga 600 ribu sampai 400 ribuan ha. Akhirnya mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2020 sebesar 115 ribu ha.
Terakhir, Menteri Siti menerangkan bahwa COP 26 tahun merupakan pertemuan yang krusial dan penting, mengingat Paris Agreement dapat diimplementasi dengan efektif hanya bila negara-negara pihak dapat menyepakati Rules Book Paris Agreement sebagai basis.
Pertemuan COP 26 yang seyogyanya dilaksanakan akhir tahun 2020 terpaksa ditunda karena pandem COVID-19. Tahun ini diharapkan Britania Raya sebagai tuan rumah bersama-sama dengan Italia berupaya agar pertemuan COP 26 dapat diselenggarakan dengan metoda in-person, pada tanggal 31 Oktober hingga 12 November 2021.
"Disinilah peran kita sebagai DELRI yang nanti akan mengikuti berbagai rangkaian perundingan perubahan iklim dibawah UNFCCC," jelas Menteri Siti.
Dalam mempersiapkan perundingan nanti, KLHK akan memimpin jalannya proses penyiapan diantaranya melalui penyusunan submisi, kertas posisi dan aspek substansi lainnya yang diperlukan.
Berbagai skenario juga akan disiapkan seandainya pertemuan fisik tidak dapat dilakukan mengingat masih tingginya dinamika situasi, termasuk diantaranya menyiapkan diri untuk melakukan pertemuan secara hybrid.
Namun perlu menjadi catatan bahwa Indonesia bersama negara berkembang lainnya masih merasakan sulitnya proses pertemuan yang dilakukan secara virtual, masih ada aspek teknis, inklusivitas, dan transparansi yang menjadi tantangan krusial.
Selain itu, pada UNFCCC juga masih menerapkan bahwa tidak akan ada pengambilan keputusan yang dilakukan secara virtual.(*)