Alasan Pegawai KPK Tidak Ikut Diklat Bela Negara Bareng Kementerian Pertahanan
Seorang dari enam pegawai, Penyidik Utama nonaktif KPK Budi Agung Nugroho, mengungkapkan alasan tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak enam pegawai nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) memutuskan tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) bela negara serta wawasan kebangsaan bersama Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Mereka merupakan bagian dari 24 pegawai yang dinyatakan masih mendapat kesempatan agar bisa menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Seorang dari enam pegawai, Penyidik Utama nonaktif KPK Budi Agung Nugroho, mengungkapkan alasannya.
Budi mengatakan, tujuan diklat tersebut tidak jelas karena tidak diberi tahu indikator bermasalah dalam tes yang sebelumnya ia ikuti.
"Alasannya, karena permintaan saya atas hasil TWK, untuk mengetahui penyebab saya tidak lulus itu tidak dipenuhi sama KPK. Sehingga saya tidak tahu wawasan kebangsaan saya yang mana yang harus dibenahi melalui pelatihan ini. Itu membuat pelatihan menjadi tidak jelas tujuannya," kata Budi lewat keterangan tertulis, Senin (26/7/2021).
Sementara, Spesialis Hubungan Masyarakat Muda nonaktif KPK Ita Khoiriyah alias Tata mengatakan, surat pernyataan kesediaan justru menempatkan 24 pegawai sebagai orang asing.
Baca juga: KPK Terbitkan Surat Edaran Minta Industri Jasa Keuangan Kendalikan Gratifikasi
Padahal, imbuhnya, para pegawai sedianya hanya menjalankan proses peralihan saja.
Bagi Tata, surat kesediaan sebagai syarat mengikuti pelatihan justru membuat pihaknya terluka untuk kali kedua.
"Apakah surat kesediaan adalah bentuk jebakan baru? Seolah-olah pimpinan memberi kesempatan dengan memberi pembinaan. Tapi, ujung-ujungnya diharuskan tes lagi dan bersedia tidak diangkat jadi ASN," kata Tata.
Tata menegaskan hanya mau mempertimbangkan ikut pembinaan apabila informasi asesmen TWK dibuka seterang-terangnya.
Baca juga: Awal Mula Kasus Pengadaan Tanah di Munjul hingga Alasan KPK Periksa Gubernur Anies Baswedan
Sedangkan, Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi nonaktif KPK Hotman Tambunan menjelaskan, dasar hukum hingga sikap tertutup KPK atas hasil TWK menjadi alasan para pegawai enggan mengikuti diklat.
"Pelatihan ini disebut sebagai bagian dari proses alih status tapi dasar hukum dalam proses alih status di PP 41/2020 hanya dikenal pelatihan orientasi ASN, tidak dikenal pelatihan bela negara. Dan pelatihan orientasi ASN dilakukan setelah penetapan dan pelantikan jadi ASN. Terus apa dasar hukum dari pelatihan ini?" kata Hotman.
Hotman sangat menyesalkan, karena KPK sampai saat ini enggan memberikan data dan informasi yang diminta pegawai terkait hasil TWK.
Ia mengkritik nilai transparansi yang selama ini dijadikan 'barang dagang' lembaga antirasuah.
"Coba bayangkan untuk mendapatkan hasil tes pegawai internal saja harus ngotot-ngototan hampir 2 bulan lebih tak ada hasil, padahal UU memperbolehkannya. Terus model transparansi apa sih yang ada di benak pimpinan saat ini," kata dia.
Hotman menambahkan, pelatihan di Kemhan semestinya menjadi bagian dari peningkatan kompetensi pegawai bukan sebagai proses seleksi.
Baca juga: KPK Periksa Eks Plt Dirut Sarana Jaya Terkait Korupsi Pengadaan Tanah Munjul
Dalam hal ini ia menyoroti persyaratan bersedia diberhentikan jika tidak lulus pelatihan.
Sebagai informasi, 24 pegawai tersebut diwajibkan menandatangani kesediaan mengikuti diklat.
Dokumen itu merupakan berita acara rapat koordinasi tindak lanjut hasil asesmen TWK dalam rangka pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tertanggal 25 Mei 2021.
Ditandatangani oleh lima pimpinan KPK, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, Ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) Adi Suryanto, dan Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto.
"Ini kan bentuk pemaksaan dan pengambilalihan hak secara paksa tanpa dasar. Padahal, saat TWK pun kita sama sekali tak diberi informasi secara utuh bahkan kami merasa cenderung dibohongi," kata Hotman.