Panglima TNI Marah Atas Insiden Kekerasan Oknum Anggota TNI AU di Merauke
Selain itu Hadi juga memerintahkan Fadjar mencopot jabatan Komandan Satuan Polisi Militer (Dansatpom) Lanud setempat.
Editor: Hendra Gunawan
*Gubernur Papua Minta Masyarakat Tenang
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto memerintahkan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo untuk mencopot Kolonel Pnb Herdy Arief Budiyanto dari jabatannya sebagai Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Johanes Abraham Dimara di Merauke.
Selain itu Hadi juga memerintahkan Fadjar mencopot jabatan Komandan Satuan Polisi Militer (Dansatpom) Lanud setempat.
Ia memerintahkan hal tersebut terkait dengan insiden kekerasan yang melibatkan dua oknum TNI AU di Merauke pada Selasa (27/7).
Baca juga: Anak Buahnya Aniaya Warga, Inilah Sosok Danlanud Merauke Kolonel Pnb Herdy Arief yang Kini Dicopot
"Saya sudah memerintahkan KSAU untuk mencopot Komandan Lanud dan Komandan Satuan Polisi Militernya. Jadi saya minta malam ini langsung serah terimakan (jabatan). Saya minta malam ini sudah ada keputusan itu," kata Hadi ketika dikonfirmasi pada Rabu (28/7).
Ia menjelaskan keduanya dicopot karena tidak dapat membina anggotanya. Hadi juga mengungkapkan dirinya marah dengan sikap dua oknum Satpom AU yang tak peka dan melakukan kekerasan terhadap penyandang disabilitas yang belakangan diketahui bernama Steven.
"(Alasan pencopotan) Karena mereka tidak bisa membina anggotanya. Kenapa tidak peka, memperlakukan disabilitas seperti itu. Itu yang membuat saya marah," kata Hadi.
Baca juga: Kemarahan Panglima TNI Tahu Korban Kekerasan Anggota TNI AU Penyandang Disabilitas: Kenapa Tak Peka
Diberitakan, sebuah video yang memperlihatkan prajurit TNI AU menginjak kepala seorang warga viral di media sosial.
Dalam video berdurasi 1 menit 20 detik tersebut menunjukkan dua pria berseragam TNI AU tengah mengamankan seorang warga. Salah seorang anggota mengamankan pria tersebut dengan cara memitingkan badan ke tanah.
Sedangkan, satu prajurit lainnya terlihat menginjak kepala warga tersebut dengan sepatu tentara. Menurut TNI AU, peristiwa ini berawal pada saat dua anggota TNI AU, Serda D dan Prada V hendak membeli makan di salah satu rumah makan Padang di Jalan Raya Mandala–Muli, Merauke, Senin (26/7).
Pada saat bersamaan ternyata terjadi keributan seorang warga dengan penjual bubur ayam yang lokasinya berdekatan dengan rumah makan Padang tersebut.
Baca juga: Profil Danlanud Merauke Kolonel Pnb Herdy Arief Budiyanto yang Dicopot Panglima TNI
Keributan ini disebabkan oleh seorang warga yang diduga mabuk dan melakukan pemerasan kepada penjual bubur ayam. TNI AU menyebut warga tersebut juga diduga memeras pemilik rumah makan Padang dan sejumlah pelanggannya.
Kedua anggota itu kemudian berinisiatif untuk melerai keributan dan membawa warga yang membuat keributan tersebut ke luar warung.
Namun pada saat mengamankan warga, kedua oknum melakukan tindakan yang dianggap berlebihan terhadap warga. Atas peristiwa tersebut, dua prajurit TNI AU tersebut sudah ditahan di Markas Satuan Polisi Militer Lanud Johannes Abraham Dimara, Merauke.
Masyarakat Tenang
Gubernur Papua, Lukas Enembe, angkat bicara mengenai kasus kekerasan yang dilakukan oleh dua personel POM Lanud Yohanes Abraham Dimara Merauke kepada seorang pemuda bernama Steven.
Juru Bicara Gubernur Papua, Muhammad Rifai Darus meminta masyarakat bumi cenderawasih tetap tenang terkait kasus tersebut. Sebab kata dia para pelaku sudah diproses secara hukum.
"Gubernur Papua meminta kepada seluruh warga Papua untuk tetap tenang dan terus memantau proses yang sedang berjalan terhadap kedua aparat TNI AU yang melakukan kekerasan dan penyiksaan tersebut.
Gubernur menekankan agar situasi aman dan kondusif tetap harus dikedepankan dalam masa pandemi ini," ujarnya.
Lukas Enembe lanjut Rifai juga berharap selurug aparat penegak hukum yang ada di Papua menjadikan kasus kekerasan oleh dua oknum anggota TNI AU tersebut jadi pelajaran berharga.
"Gubernur Papua berharap agar pelaku kekerasan dan penyiksaan terhadap warga sipil asal Merauke tersebut dapat ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Selain itu, Gubernur juga berharap agar seluruh aparat penegak hukum yang ada di Papua dapat menjadikan ini sebagai pelajaran dan refleksi diri, agar ke depan hal serupa tidak lagi terulang," kata Rifai.
Terpisah, Kepala Staf Presiden Moeldoko menyesalkan terjadinya tindak kekerasan oleh polisi militer Bandara J Dimara Merauke terhadap warga sipil yang belakangan diketahui merupakan warga difabel tuli di Papua. Moeldoko menilai tindakan tersebut terlalu eksesif.
"Atas terjadinya peristiwa tersebut, Kantor Staf Presiden (KSP) menyampaikan penyesalan mendalam dan mengecam tindak kekerasan tersebut. KSP menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh kedua aparat tersebut sangat eksesif, di luar standar dan prosedur yang berlaku," kata Moeldoko.
Moeldoko mengapresiasi dan sangat menghargai respon cepat Panglima TNI dan Kepala Staf TNI AU dengan menahan pelaku untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
Mantan Panglima TNI itu mengajak seluruh lapisan masyarakat, untuk mendukung dan mempercayakan proses penegakan hukum serta mengawasi proses tersebut.
"KSP akan memastikan bahwa pelaku diproses secara hukum yang transparan dan akuntabel, serta memastikan korban mendapat perlindungan serta pemulihan," katanya.
Moeldoko berharap agar semua lapisan masyarakat, terlebih aparat penegak hukum memiliki perspektif HAM, menekankan pendekatan humanis dan dialogis, utamanya terhadap penyandang disabilitas.
Hal ini sesuai dengan UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta PP nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan.
"KSP mengajak semua pihak untuk berupaya memastikan agar kejadian tersebut tidak berulang, baik di Papua maupun di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia," pungkasnya.
Tim Advokasi Papua menyoroti secara serius terkait adanya insiden dua oknum anggota TNI-AU yang menginjak kepala seorang warga penderita tuna wicara di Merauke, Papua.
Atas adanya insiden tersebut, Anggota Tim Advokasi Papua Michael Himan mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk turut meminta maaf.
"Mendesak Presiden Joko Widowo selaku Panglima tertinggi Militer untuk segera meminta maaf," kata Himan.
Tak hanya itu, kata Himan pihaknya juga meminta kepada Presiden Joko sedianya memerintahkan untuk menindak tegas dua anggota Polisi Militer TNI-AU yang melakukan tindakan represif, rasis, dan diskriminatif tersebut.
Adapun, dirinya meminta Presiden untuk memperlakukan dua oknum TNI-AU tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang dijunjung.
"Mendesak proses hukum terhadap kedua anggota Polisi Militer TNI-AU tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," ucapnya.
Selain itu kata Himan, Presiden juga harus turut memberikan sanksi dan memecat kedua Anggota Polisi Militer dan harus dilakukan secara transparan serta akuntabel sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.
Sebab kata dia, perlakuan tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
"Itu dijamin dalam pelbagai undang-undang, salah satunya dalam Pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang berbunyi 'Setiap orang berhak untuk bebas dari penilaian, penghukuman, atau yang kejam, tidak manusiawi, derajat dan martabat kemanusiaannya'," katanya.
Sebagai aparat keamanan negara, anggota TNI-AU kata Himan, seharusnya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat untuk bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Akan tetapi, tindakan kedua oknum tersebut dinilai tidak manusiawi bahkan tidak beradab, apalagi yang melakukan merupakan anggota TNI.
"Tindakan yang tidak manusiawi dan tidak beradab sebagai anggota TNI tersebut bertentangan dengan tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU TNI," tuturnya. Di mana bunyi pasal 7 ayat (1) Undang-Undang TNI kata Himan yakni, 'Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara'.
Lebih lanjut, tindakan rasis dan pendekatan represif yang dilakukan itu kata dia, tidak hanya mengakibatkan sakit secara fisik terhadap korban. Akan tetapi, juga semakin menambah daftar panjang tindakan diskriminatif aparat keamanan terhadap Orang Asli Papua (OAP).
"Melalui pernyataan ini, kami dari Tim Advokasi Papua menilai kedua anggota Polisi Militer TNI-AU secara langsung telah mengusik hak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM," tuturnya.
Lanjut Himan, tindakan itu juga telah menunjukkan adanya tindakan diskriminatif berupa menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis.
"Kami dari Tim Advokasi Papua mendesak dan mempertanyakan sejauh mana penyelesaian kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Militer TNI, praktik kekerasan dan perbuatan merendahkan martabat terhadap orang Papua akan terus terjadi selama praktik Impunitas terus dipelihara," ujarnya.(Tribun Network/gta/fik/kps/wly)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.