Calon Hakim Agung Subiharta Menilai Praktik Peradilan HAM di Indonesia Belum Optimal
Pandangan terkait hal tersebut dimentahkan oleh panelis yang merupakan anggota Komisi Yudisial yakni Amzulian Rifai.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung Kamar Pidana yang saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Bandung, Subiharta, menilai praktik peradilan HAM di Indonesia belum optimal.
Ia mengatakan untuk memproses suatu pelanggaran HAM di Indonesia harus melalui suatu mekanisme di mana Komnas HAM berperan sebagai yang melakukan proses penyelidikan secara awal.
Menurutnya tidak mudah memformulasikan pelanggaran HAM berar di Indonesia.
Karena, kata dia, ada tiga hal dalam pelanggaran HAM berat yang nanti bisa diproses melalui pengadilan HAM yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, dan pidana yang berkaitan dengan peperangan.
Baca juga: Calon Hakim Agung Suharto Mengaku Sempat Tak Nonton TV Selama 6 Bulan Saat Adili Perkara Besar
Hal itu disampaikannya menjawab pertanyaan panelis terkait pandangannya terhadap praktik pengadilan HAM di Indonesia dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-2 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Rabu (4/8/2021).
"Sekarang kalau kita lihat di kasus-kasus di Indonesia, bagaimana, kita tidak bisa mengatakan itu sebagai suatu, tidak berhasil. Misalnya pelanggaran HAM (berat) terhadap kasus Semanggi. Sampai sekarang ternyata belum dilakukan suatu proses penegakan hukum setelah melalui perubahan pemerintahan dari dekade sebelumnya atau dari presiden sebelumnya ke presiden yang sekarang," kata dia.
Oleh karena itu menurutnya, praktik peradilan HAM tetap membutuhkan political will atau kehendak politik dari penguasa.
Ia pun mengungkap kemungkinan dijalankannya dua proses secara bersamaan dal hal itu yakni penegakan hukum di satu sisi, dan rekonsiliasi di sisi lain.
"Sehingga diperoleh suatu hasil yang sama-sama memberikan suatu kepuasan. Di satu pihak tetap ada satu penegakan hukum, toh nanti bisa saja akhirnya juga tidak harus diselesaikan melalui peradilan HAM," kata dia.
Subiharta kemudian ditanya lagi oleh panelis kemungkinan untuk mengaitkan penegakan hukum terkait pelanggaran HAM berat dengan International Criminal Court (ICC).
Ia kemudian mengungkapkan sejumlah contoh di luar negeri di antaranya terkait dengan Filipina yang menurutnya peradilan di sana telah mengakomodir berbagai kebijakan peradilan internasional.
Tidak hanya itu, ia pun mencontohkan Jepang yang telah memiliki instrumen Judicial Research Officer yang menurutnya bertugas untuk membantu hakim dalam menyelesaikan kasus yang ditanganinya.
Namun demikian, pandangan terkait hal tersebut dimentahkan oleh panelis yang merupakan anggota Komisi Yudisial yakni Amzulian Rifai.
Menurutnya jawaban Subiharta terlalu jauh dari pertanyaannya.
"Terlalu jauh, Pak. Saya minta Bapak mengaitkan dengan ICC. Kata Bapak tadi soal political will. Adanya ICC itu karena memang ada dua faktor. Kenapa itu terbentuk. Satu karena adanya unwilling, kemudian ada yang unable. Unsur unwilling karena tidak ada political will untuk mengadili. Karena biasanya mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat itu adalah petinggi-petinggi negara biasanya," kata Amzulian.
Di dalam hukum international HAM, lanjut dia, disebut unwilling atau tidak adanya kemauan untuk mengadili.
Tapi, lanjut dia, ada juga negara yang memenuhi unsur kedua yakni unable atau tidak adanya kesanggupan untuk membawa keadilan tersebut.
"Maka terciptalah yang namanya ICC, International Criminal Court. Solusi apa yang bisa dilakukan yaitu mengencourage pemerintah kita untuk meratifikasi konvensi tentang ICC itu. Itu kira-kira," kata Amzulian.