Dapat Somasi Moeldoko Soal Pengadaan Ivermectin dan Impor Beras, Begini Tanggapan ICW
ICW sudah menerima surat somasi yang dilayangkan oleh Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, melalui kuasa hukumnya.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Choirul Arifin
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berkata, menyikapi langkah Moeldoko, setidaknya ada dua isu yang tampak oleh masyarakat.
Pertama, terkait upaya pemberangusan nilai demokrasi.
Patut dipahami, katanya, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat.
Mulai dari Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.
Bahkan, lanjutnya, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, di antaranya Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.
"Terlepas dari rangkaian pengabaian regulasi terkait hak menyatakan pendapat, langkah Moeldoko ini pun berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia," kata Erasmus yang juga bagian dari koalisi masyarakat sipil.
Awal Februari lalu, ia mengungkapkan, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3.
Kata Erasmus, itu merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan.
"Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan," kata dia.
Kedua, melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil.
Merujuk data SAFENet, terang Erasmus, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan.
Tindak kriminalisasi ini menyasar mulai dari aktivis, jurnalis, hingga akademisi.
"Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia," ujarnya.
Erasmus menjelaskan dari aspek hukum. Mengacu pada pemberitaan media, terdapat konstruksi yang keliru dalam memaknai aspek pelanggaran hukum dari penelitian ICW tersebut.