Kejagung Periksa Eks Petinggi LPEI Terkait Kasus Dugaan Korupsi Rp 4,7 Triliun
Leonard menerangkan, saksi diperiksa berkaitan dengan pemberian fasilitas kredit pada jasa mulya Indonesia tahun 2014 sampai 2017.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa seorang saksi dalam kasus dugaan korupsi Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Senin (9/8/2021).
Diketahui dalam kasus ini ditaksir merugikan negara hingga Rp4,7 triliun. Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer mengatakan, penyidik Jampidsus melakukan pemeriksaan terhadap 1 orang saksi dalam kasus LPEI tersebut.
“Saksi yang diperiksa yaitu PSNM selaku Kepala Departemen Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) periode tahun 2015 s/d April 2018 pada LPEI,” ujar Leonard dalam keterangannya, Senin (9/8/2021).
Leonard menerangkan, saksi diperiksa berkaitan dengan pemberian fasilitas kredit pada jasa mulya Indonesia tahun 2014 sampai 2017.
Baca juga: Kejagung Periksa Pejabat Hingga Pihak Swasta Terkait Kasus Korupsi Asabri
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia ketahui dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI," tuturnya.
Leonard menyampaikan penyidikan dugaan korupsi ini dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/ F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.
Penyidikan kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI berdasarkan laporan keuangan pada 31 Desember 2019. Dugaan rasuah di LPEI diprediksi mencapai Rp4,7 triliun. Penyidikan dilakukan lantaran LPEI diduga memberikan fasilitas pembiayaan kepada sembilan perusahaan.
Korporasi ini meliputi Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera, PT Kemilau Harapan Prima dan PT Kemilau Kemas Timur. Hal itu diketahui dari laporan sistem informasi manajemen risiko dalam posisi collectibility 5 (macet) per 31 Desember 2019.
Pembiayaan itu diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik. Hal ini berdampak pada meningkatnya kredit macet/non-performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39 persen.