BKNP PDI Perjuangan Menggelar Sepekan Bung Hatta
Sebelum melihat lebih jauh tentang pemikiran demokrasi Bung Hatta, Burhanuddin menilai bahwa kita harus melihat Bung Hatta lebih jernih.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rangkaian Talk Show “Pekan Bung Hatta” merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Badan Kebudayaan Nasional Pusat Partai Demokrasi Indonesia (BKNP PDI) Perjuangan dalam mengenalkan sepak terjang, kisah dan inspirasi Bung Hatta kepada masyarakat luas.
"Selama sepekan, dari 9-14 Agustus 2021, Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan akan menayangkan video-video talk show membahas Bung Hatta dalam berbagai perspektif, ditayangkan di Channel Youtube BKNP PDI Perjuangan setiap jam 16.30 WIB," kata Ketua BKNP PDIP Aria Bima, Selasa (10/8/2021).
Pada episode pertama, BKNP PDI Perjuangan mengangkat tema “Bung Hatta dan Demokrasi” dengan menghadirkan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, yang dipandu oleh aktivis kebangsaan Garda Maharsi.
Sebelum melihat lebih jauh tentang pemikiran demokrasi Bung Hatta, Burhanuddin menilai bahwa kita harus melihat Bung Hatta lebih jernih.
Sebab menurutnya di antara founding fathers Indonesia yang lain, Bung Hatta merupakan sososk yang kurang mendapatkan perhatian terutama dari sisi akademiknya.
Baca juga: Puan Maharani Dinilai Tepat Jadi Ketum PDIP setelah Megawati, Namun Belum Pasti untuk Pilpres 2024
“Bung Hatta adalah sosok yang sederhana dan cenderung ingin tampil di belakang layar sehingga menjadi kurang menarik jika dibandingkan dengan Bung Karno yang hangat dan flamboyan atau Tan Malaka yang radikal kontroversial,” papar Burhanuddin.
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta imi menambahkan bahwa Bung Hatta memang lebih banyak dikenal sebagai ‘man of work’, sebagai orang yang bekerja di belakang layar.
“Orang seperti Bung Hatta ini merupakan pemimpin bertipe administrator, bukan solidarity maker seperti Bung Karno yang memiliki kemampuan berpidato luar biasa,” jelasnya.
Terkait dengan demokrasi, maka hal pertama yang tidak bisa dilepaskan dari Bung Hatta adalah latar belakang daerah kelahirnya di Bukittinggi Sumatera Barat. Seperti yang diungkapkan Nurcholis Majid saat menulis tentang Bung Hatta.
Cak Nur menekankan bahwa Demokrasi Bung Hatta tidak bisa dilepaskan dari setting Minangkabau.
“Minangkabau itu kan dikenal dengan pemikirannya yang dinamis, terbuka anti parokial dan tidak mengenal hirarki sehingga orang bisa berdebat dengan luar biasa,” terang Burhanuddin.
Catatan lain, Hatta lahir dari keluarga cerdik cendikia, relijius sekaligus saudagar.
Baca juga: Politikus Senior PDIP: Baliho Puan Maharani Murni Inisiatif Fraksi di DPR, Bukan Perintah Partai
“Hal ini yang membuat seorang Bung Hatta bisa menikmati jenjang pendidikan yang luar biasa.di Eropa”, ungkap Burhanuddin.
Saat menempuh pendidikan di Belanda itulah, Bung Hatta mengkritik sebuah sistem demokrasi yang ia anggap sebagai demokrasi rasial.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.