Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jubir Luhut: Angka Kematian Covid akan Kembali jika Data Sudah Rapi, Ada Tim Khusus untuk Perbaiki

Juru Bicara Menko Marves, Jodi Mahardi menyebut angka kematian covid-19 akan kembali jika data sudah tapi, ada tim khusus untuk memperbaiki.

Penulis: Inza Maliana
Editor: Miftah
zoom-in Jubir Luhut: Angka Kematian Covid akan Kembali jika Data Sudah Rapi, Ada Tim Khusus untuk Perbaiki
Tribunnews/Irwan Rismawan
Petugas mengangkat jenazah pasien Covid-19 untuk dimakamkan di TPU Jombang, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (27/6/2021). Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per hari Minggu (27/6/2021) menyebutkan kasus positif Covid-19 bertambah 21.342 orang sehingga total menjadi 2.115.304 orang, sementara kasus pasien sembuh bertambah 8.024 orang menjadi 1.850.481 orang, dan kasus meninggal akibat Covid-19 bertambah 409 jiwa sehingga totalnya menjadi 57.138 jiwa. Tribunnews/Irwan Rismawan 

TRIBUNNEWS.COM - Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Jodi Mahardi ikut menanggapi terkait angka kematian Covid-19 yang dihapus sementara dari indikator penanganan Covid-19.

Menurut Jodi, hal itu dikarenakan adanya data yang merupakan akumulasi dari beberapa minggu sebelumnya.

Akibatnya, pemerintah mengaku kesulitan dalam menganalisis penanganan Covid-19 di daerah.

"Kami temukan ada input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang. Sehingga menimbulkan disorsi dalam penilaian."

"Banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk atau dicicil pelaporannya oleh daerah, sehingga dilaporkan jadi terlambat."

"Jadi terjadi bias dalam analisis, hal ini menyebabkan sulit melihat perkembangan situasi Covid-19 di suatu daerah," kata Jodi, dikutip dari tayangan Youtube tvOne, Kamis (12/8/2021).

Petugas mengusung peti jenazah korban Covid-19 yang akan dimakamkan melintasi tempat pembuatan peti jenazah di kompleks pemakaman Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Selasa (13/7/2021). Meningkatnya angka kematian kasus Covid-19 membuat permintaan peti jenazah mengalami peningkatan. Salah satu pekerja mengaku, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan pembuatan peti jenazah sebanyak 30 buah. Tribunnews/Jeprima
Petugas mengusung peti jenazah korban Covid-19 yang akan dimakamkan melintasi tempat pembuatan peti jenazah di kompleks pemakaman Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Selasa (13/7/2021). Meningkatnya angka kematian kasus Covid-19 membuat permintaan peti jenazah mengalami peningkatan. Salah satu pekerja mengaku, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan pembuatan peti jenazah sebanyak 30 buah. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)

Bahkan, Jodi menyebut tidak hanya angka kematian Covid-19 saja yang mengalami hal serupa.

BERITA TERKAIT

Rupanya, banyak angka kesembuhan Covid-19 yang juga mengalami keterlambatan dalam pelaporan.

Meski belum diketahui penyebabnya, Jodi menduga hal tersebut lantaran keterbatasan tenaga di daerah.

"Hal serupa juga terjadi dengan kasus aktif, karena banyak kasus sembuh yang belum terlaporkan. Hal ini bisa terjadi mungkin karena keterbatasan tenaga di daerah," ujarnya.

Baca juga: Luhut Hapus Angka Kematian Covid-19, Epidemiolog Sebut Berbahaya: Bisa Salah Strategi dan Ekspektasi

Lebih lanjut, untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah juga menerjunkan tim khusus untuk memperbaikinya.

Kedepannya, setelah data sudah rapi, data angka kematian akan dimasukkan kembali ke dalam indikator penanganan Covid-19.

"Ke depan kita terus mengambil langkah perbaikan untuk memastikan data yang akurat. Kita juga menurunkan tim kusus untuk ini."

"Nanti kita akan input indikator kematian jika datanya sudah rapi," jelasnya.

Kata Epidemiolog soal Angka Kematian Covid-19 yang Dihapus

Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, ikut menyoroti terkait keputusan pemerintah menghapus angka kematian dari indikator penanganan Covid-19.

Menurut Dicky, langkah yang diambil pemerintah bukan cuma salah dan keliru, tetapi juga berbahaya.

"Selain salah, juga berbahaya. Karena indikator kematian adalah indikator kunci saat ada pandemi atau wabah," kata Dicky dihubungi Kompas.com, Rabu (11/8/2021).

Dicky menjelaskan, indikator angka kematian bukan hanya untuk melihat intervensi di hulu, tapi juga untuk menilai derajat keparahan dari suatu wabah.

Baca juga: Fraksi PKS: Pemerintah Tak Boleh Sembunyikan Data Kematian Covid-19

Menurutnya, semua penyakit memerlukan indikator kematian, baik itu yang ada kaitannya dengan wabah penyakit atau tidak seperti kanker, stroke, dan diabetes.

Hal itu guna melihat performa program dalam penanganan penyakit tertentu.

Sekaligus, melihat apakah penyakit tersebut menjadi masalah serius atau tidak di suatu wilayah atau negara.

"Ini harus dilihat kematiannya," ungkap dia.

Ahli Epidemiologi Indonesia dan Peneliti Pandemi dari Griffith University, Dicky Budiman.
Ahli Epidemiologi Indonesia dan Peneliti Pandemi dari Griffith University, Dicky Budiman. (dok pribadi)

Oleh karena itu, jika indikator angka kematian untuk Covid-19 dihapus, Dicky menegaskan bisa berbahaya.

"Berbahaya karena bisa salah interpretasi, salah strategi, termasuk salah ekspektasi," imbuhnya.

Selain semua pengendalian penyakit memerlukan indikator angka kematian, kata Dicky, dalam tataran nasional semua negara memerlukan statistik angka kematian yang akurat dan tepat waktu.

"Memang itu idealnya (akurat dan tepat waktu). Tapi, bukan berarti kalau enggak akurat dan tepat waktu kemudian dihapuskan, bukan seperti itu," tegasnya.

Baca juga: Pemerintah Keluarkan Indikator Kematian, PKS: Jangan-jangan Ada Pejabat yang Tak Percaya Covid-19 

Dicky yang juga menjadi penasehat bagi Pemerintah Indonesia dalam membuat strategi penanganan pandemi mengatakan, dirinya mengusulkan manajemen data harus ditingkatkan.

Kemudian, statistik angka kematian juga penting untuk menginformasikan bagaimana performa kebijakan kesehatan, strategi, dan dampak terhadap strategi yang juga meliputi sosial dan ekonomi.

Inilah yang menyebabkan seluruh dunia menggunakan angka kematian untuk memantau kemajuan suatu negara dalam membangun kesehatan nasional.

"Begitu pentingnya statistik kematian, jadi tidak boleh diabaikan," ujarnya.

Alasan Pemerintah Menghapus Angka Kematian Covid-19

Sebelumnya diberitakan Tribunnews, pemerintah menghapus angka kematian dari indikator pengendalian atau penanganan Covid-19.

Hal itu karena ditemukannya kesalahan dalam menginput data yang menyebabkan akumulasi kasus kematian pada beberapa minggu sebelumnya.

Dihapusnya angka kematian dari indikator itu membuat 26 kota dan kabupaten mengalami penurunan level PPKM, dari level 4 menjadi 3.

Baca juga: Kemendikbudristek: PTM Terbatas di Wilayah PPKM Level 1-3 Harus Terapkan Prokes Ketat

Luhut Sebut 12 wilyah harus terapkan PPKM level 3 dan 4
Luhut Sebut 12 wilyah harus terapkan PPKM level 3 dan 4 (Tangkap Layar Youtube Sekretariat Presiden)

"PPKM Level 4 dan 3 yang dilakukan pada tanggal 10 sampai 16 Agustus 2021 nanti, terdapat 26 kota atau kabupaten yang turun dari Level 4 ke Level 3."

"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang."

"Sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," jelas Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan, dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Senin (9/8/2021).

(Tribunnews.com/Maliana/Shella Latifa)(Kompas.com/Gloria Setyvani Putri)

Simak berita lainnya terkait Virus Corona

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas