IDI Minta Pemerintah Beri Subsidi Lebih Besar untuk Keperluan Test Swab PCR di Indonesia
Zoebairi meminta pemerintah agar bisa memberikan subsidi yang lebih besar untuk keperluan test swab PCR di Indonesia.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Dewi Agustina
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) turut memberikan tanggapan terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin harga tes PCR diturunkan menjadi antara Rp 450.000 hingga Rp 550.000, serta hasil PCR dipercepat maksimal menjadi 1x24 jam.
Ketua Dewan Pertimbangan IDI Zoebairi Djoerban mengatakan, meski harga swab bervariasi, namun pihaknya menyarankan agar pemerintah dapat memberikan subsidi yang lebih besar untuk keperluan test swab PCR tersebut.
"Harga kan amat bervariasi, mulai dari gratis. Saran agar pemerintah memberi subsidi supaya (harganya) semurah mungkin," kata Zoebairi saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Senin (16/8/2021).
Dia memberikan penjelasan jika harga test swab PCR bisa lebih murah maka hasil testing hingga tracing bisa lebih maksimal.
Hal itu dikarenakan, akan semakin banyak masyarakat yang bersedia untuk menjalankan swab test PCR karena harga yang dipatok juga terjangkau.
"Sehingga tes bisa lebih banyak, yang ketemu lebih banyak," ucapnya.
Dengan begitu kata Zoebairi, maka masyarakat yang memiliki gejala atau bahkan telah terpapar Covid-19 dapat langsung menerima tindakan isolasi mandiri.
Baca juga: Iwan Fals Soroti Harga Tes PCR: Tapi Lebih Alhamdulillah Lagi Kalau Gratis
Alhasil kata dia, penularan virus Covid-19 bisa ditekan jika testing hingga tracing bisa dilakukan secara maksimal.
"Bisa isolasi karantina sehingga penularan berkurang serta menemukan kasus penting," ujarnya.
Atas dasar itu, Zoebairi yang juga mewakili IDI meminta pemerintah agar bisa memberikan subsidi yang lebih besar untuk keperluan test swab PCR di Indonesia.
Terpisah, Wakil Ketua Umum IDI Slamet Budiarto menegaskan, pihaknya mendesak pemerintah untuk menghapus atau membebaskan pajak untuk segala alat kesehatan, obat-obatan hingga keperluan laboratorium di Rumah Sakit.
Hal itu yang menjadi salah satu penyebab mahalnya harga test swab PCR di Indonesia. Dia bahkan menilai itu berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia.
"Kenapa obat dan Alkes jangan dibebani pajak karena itu menyangkut hak asasi manusia, orang sakit tidak boleh dibebani pajak," kata Slamet saat dihubungi Tribunnews, Minggu (15/8/2021).
Dampaknya bahkan kata dia, tekhnologi Rumah Sakit di Indonesia akan selalu tertinggal dari negara lain. Sebab banyak pihak yang enggan membeli alat karena pajaknya tinggi.
Ironinya kata Slamet, akhirnya sebagian besar masyarakat memilih untuk menjalankan perawatan atau berobat ke negara lain.
"Karena kita gabisa membeli alat-alat canggih orang berbondong-bondong ke Malaysia, negara lain yang jauh lebih murah, sekarang Malaysia booming karena di sana tidak dikenai pajak," tuturnya.
Lantas Slamet menyinggung terkait barang yang wajib dikenakan pajak, kata dia segala barang tersebut yakni yang berhasil diperoleh masyarakat karena kenikmatan dalam hal ini gaji.
Kata dia, masyarakat yang memiliki keperluan untuk berobat itu bukan sebuah kenikmatan melainkan suatu ujian.
"Misal, dapet gaji beli mobil beli handphone beli rumah itu kenikmatan itu dikenai pajak oke, tapi orang susah (sakit) jangan dibebani pajak, ini brunded ini," ucapnya.
Pihaknya bahkan kata Slamet telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo dan Kementerian terkait agar untuk sedianya memberikan keringanan kepada masyarakat yang ingin berobat.
Dengan ditiadakan pajak itu dirinya meyakini segala biaya keperluan berobat atau bahkan test PCR sekalpun akan lebih terjangkau.
"Kami sudah surati Presiden sekitar bulan Maret-April, DPR juga sudah kita suratin agar obat dan alkes jangan dibebani pajak, udah itu aja (dibebaskan pajak) itu akan turun semua (harga test)," ucapnya.
Kendati begitu kata Slamet belum ada tindakan dari pelayangan surat yang diberikan pihaknya terkait hal tersebut.
"Yang memberikan respon baru Kemenko Perekonomian, katanya akan diperhatikan tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjut," ucapnya.
Atas dasar itu dirinya mewakili IDI mendesak pemerintah untuk sedianya memberikan relaksasi pajak masuk khusunya alat kesehatan dan obat-obatan ke Indonesia.
"Mendesak pemerintah untuk membebaskan pajak untuk obat alkes laboratorium, baik yang terkait Covid-19 maupun yang tidak terkait Covid-19, karena orang sakit kan tidak hanya terkait Covid-19 aja," ujarnya.