ICW Beberkan 4 Bentuk Represi yang Dihadapi Ketika Jalankan Mandat Pengawasan Masyarakat Sipil
Kurnia Ramadhana membeberkan empat bentuk represi yang pernah dihadapi pegiat ICW ketika menjalankan fungsi pengawasan dari sisi masyarakat sipil
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana membeberkan empat bentuk represi yang pernah dihadapi pegiat ICW ketika menjalankan fungsi pengawasan dari sisi masyarakat sipil.
ICW sendiri, kata dia, hadir sejak tahun 1998 dan dimandatkan untuk mengawasi proses berjalannya pemerintahan dalam memastikan Undang-Undang 28 tahun 1999 terkait penyelanggaraan negara yang bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat berjalan dengan baik dari sisi masyarakat sipil.
Kurnia mengatakan empat bentuk represi tersebut adalah laporan polisi, serangan fisik, serangan peretas, dan serangan pendengung atau buzzer.
Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Publik bertajuk Merdeka Dari Represi Terhadap Kritik yang disiarkan di kanal Youtube PBHI Nasional pada Rabu (18/8/2021).
"Itu empat hal yang sering kali ICW terima dalam konteks represi dan refleksi beberapa waktu ke belakang," kata Kurnia.
Pertama, lanjut dia, represi datang melalui laporan polisi dengan delik-delik Undang-Undang ITE pasal 27 ayat 3, pasal 310 KUHP, dan pasal 311 KUHP.
Ia kemudian mencontohkan sejumlah kasus yang pernah dihadapi oleh peneliti-peneliti ICW terkait laporan polisi.
Contoh pertama adalah ketika ICW mengkritik Kejaksaan Agung dalam konteks pemulihan kerugian negara.
Ketika itu, kata dia, Kejaksaan Agung mengklaim sekian triliun sudah masuk ke kas negara namun temuan ICW jumlahnya berbeda.
Baca juga: Menjawab Somasi Moeldoko, ICW Diminta Tak Bersikap Arogan
Temuan tersebut kemudian disampaikan sampaikan secara terbuka ke masyarakat.
Namun di waktu yang sama, dilaporkan ke kepolisian.
"Mungkin teman-teman ingat kasus Mas Emerson (Emerson Yuntho) dan Mbak Lin (Illian Deta Artha Sari) saat itu. Itu satu contoh laporan polisi," kata dia.
Contoh kedua adalah ketika ICW dan masyarakat sipil mengkritik proses seleksi calon pimpinan KPK pada 2019.
Akan tetapi, kata dia, tiba-tiba Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan delik pencemaran nama baik.
Contoh ketiga, kata dia, adalah somasi yang dikirim oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko kepada peneliti ICW Egi Primayoga yang memaparkan data terkait dengan dugaan konflik kepentingan saat peredaran obat Ivermectin.
Dalam somasi tersebut, kata dia, disampaikan bahwa ada rencana, jika ICW tidak meminta maaf akan dilanjutkan ke proses hukum menggunakan laporan kepolisian.
Salah satu rekan, kata dia, menyampaikan kepada ICW bahwa hal itu tidak bisa diproses hukum lebih lanjut karena basisnya adalah penelitian.
Di sisi lain, dalam surat keputusan bersama antara Menkominfo, Kejaksaan Agung, dan Kapolri disebutkan bahwa kalau basisnya adalah penelitian, pendapat, kajian, tidak bisa dipidana menggunakan UU ITE pas 27 ayat 3.
"Itu merupakan satu produk yang mestinya dapat dipahami oleh pejabat publik kita, termasuk dalam konteks ICW, adalah Pak Moeldoko," kata dia.
Kemudian bentuk represi kedua yang dihadapi ICW adalah serangan fisik ketika ICW mengadvokasi rekening gendut Perwira Tinggi Polri.
Salah satu mantan staf ICW Tama S Langkun, kata dia, sempat mendapatkan serangan fisik.
Namun, kata Kurnia, lagi-lagi tidak ada penyelesaian yang jelas.
"Pelakunya sampai detik ini tidak ditemukan padahal sudah 9 sampai 10 tahun lalu kejadian tersebut. Dan ini menjadi penanda bahwa negara tidak menjamin keamanan dari kita semua yang bekerja untuk mengeluarkan kajian, penelitian, mengingatkan pemerintah terkait potensi-potensi korupsi," kata dia.
Bentuk represi ketiga yang dihadapi ICW adalah serangan hacker atau peretas.
Kurnia mengatakan serangan itu misalnya terjadi saat ICW mengadvokasi terkait revisi UU KPK, advokasi Calon Pimpinan KPK, advokasi Tes Wawasan Kebangsaan KPK.
Sejumlah peneliti ICW, kata dia, menjadi korban serangan digital tersebut.
"Email kami sempat hilang. Akun-akun media sosial, Facebook, dan lain sebagainya, platform chat misalnya Whats App, Telegram, itu berkali-kali dimasuki oleh para peretas tersebut," kata Kurnia.
Bentuk represi keempat, kata dia, adalah serangan pendengung atau buzzer.
Serangan tersebut, kata dia, datang ketika kritik disampaikan kepada pemerintah tiba-tiba ada gelombang yang cukup masif dari para pendengung yang membantah argumentasi, menyebarkan berita-berita tidak benar, menuduh, menuding, padahal tidak ada bukti konkret di sana.
Serangan tersebut, kata dia, datang dari banyak akun media sosial baik yang akunnya jelas atau akun-akun robot.
ICW, kata dia, sering kali menerima serangan-serangan tersebut ketika yang dikritik KPK atau pemerintah.
"Yang sering menimpa ICW tudingan-tudingan terkait penerimaan dana asing, dana hibah KPK, itu template sebenarnya yang mereka siapkan karena sampai detik ini mereka tidak bisa membuktikan dengan hal-hal yang konkret," kata dia.