Gerindra Temui PDIP, Penasihat Jokpro: Semoga Jokowi-Prabowo 2024 Terwujud
Pertemuan Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto beserta jajaran menjadi tanda
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan

"Terus terang buat kami dan saya juga, inilah injakan kaki pertama kami di kantor DPP PDIP. Kami berharap ini bukanlah injakan kaki kami yang terakhir dan kami akan sering menginjakkan kaki di tempat ini bersama-sama," kata Muzani.
Qodari menyampaikan pernyataan itu mengindikasikan atau merupakan konfirmasi bahwa PDIP dan Partai Gerindra ini arah situasinya sudah kawin gantung. Koalisi keduanya di Pilpres 2024, lanjutnya, tak bisa disangsikan lagi.
"Artinya kedekatannya sudah sangat luar biasa. Mungkin istilah yang lebih sering dipahami masyarakat itu ibaratnya sudah tunangan. Jadi 2024 itulah hemat saya PDIP dan Gerindra itu pasti berkoalisi," kata Qodari.
Hanya memang keputusan siapa nantinya yang menjadi calon presiden dan calon wakil presiden dari Gerindra-PDIP masih harus menunggu konfirmasi. Qodari berharap Jokowi-Prabowo yang jadi pilihan, akan tetapi itu sangat tergantung pada pembicaraan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto. "Tapi saya yakin bahwa keduanya pasti berkoalisi dalam Pilpres 2024 mendatang. Saya kira itu makna dari masih akan sering menginjakkan kaki dan bukan yang terakhir kali," jelasnya.
Wacana Jokowi-Prabowo Dinilai Hambat Regenerasi Pemimpin
Direktur Eksekutif Lingkaran Mardani Ray Rangkuti memiliki pendapat berbeda dengan Qodari. Menurutnya wacana duet Jokowi-Prabowo dinilai riskan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk PDIP sendiri. Sebab regenerasi kepemimpinan di tubuh PDIP menjadi terhambat.
"Saya tidak melihat potensi Jokowi-Prabowo (terwujud). Itu agak riskan bagi semua kalangan. Termasuk bagi PDIP sendiri. Akan memacetkan regenerasi di tubuh PDIP," ujar Ray, ketika dihubungi.
Bahkan Ray menilik kemungkinan Gerindra juga akan menolak opsi tersebut. Karena itu akan menyebabkan kemungkinan Prabowo menjadi capres pupus. Padahal elektabilitas yang bersangkutan terbilang cukup tinggi dalam beberapa survei terakhir.
"Gerindra juga kemungkinan menolaknya. Dalam situasi dimana potensi Prabowo menjadi presiden terbuka luas, rasanya sulit memahami keputusan Prabowo (menerima) sebagai cawapres," katanya.
Sebaliknya, Ray menegaskan opsi Prabowo-Jokowi dimana Prabowo sebagai capres dan Jokowi selaku cawapres justru terbuka lebar. Langkah ini tidak dilarang oleh konstitusi, karenanya amandemen tidak diperlukan dalam opsi tersebut.
"Tidak menutup kemungkinan Prabowo- Jokowi, kemungkinan akan banyak yang menerimanya. Dan langkah ini tidak diatur alias tidak dilarang oleh konstitusi. Saya kira, skenario ini bisa terjadi. Itulah sebabnya jauh-jauh hari, PDIP mengikatkan kerjasama dengan Gerindra agar tidak ditinggalkan di tengah jalan," imbuh Ray.
Senada, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyatakan wacana duet Jokowi-Prabowo di 2024 bakal sulit terwujud. Apalagi Jokowi sendiri sudah menyatakan penolakannya untuk maju kembali.
Di sisi lain, partai politik lainnya juga dipastikan akan menolak. Sebab mereka hendak mengajukan kader-kader mereka yang potensial.
"(Jokowi-Prabowo) Ini sulit. Selain Jokowi menyatakan tak bersedia maju kembali, partai-partai koalisi pasti menolak karena mereka punya kader sendiri yang juga layak maju. Golkar misalnya punya Airlangga Hartarto yang diwajibkan maju, PDIP ada Puan Maharani atau Ganjar Pranowo, PKB ada Cak Imin," kata Adi, ketika dihubungi.