Jokowi Dinilai Gunakan 'Kalimat Bersayap' Saat Tanggapi Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Feri merujuk pernyataan Jokowi yang menyerahkan permasalahan konstitusi kepada MPR dan hanya akan mematuhi konstitusi.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pusat Studi Komunikasi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan penyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal wacana tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden kerap bersayap alias tak ada kalimat penolakan yang pasti dan tegas.
Feri merujuk pernyataan Jokowi yang menyerahkan permasalahan konstitusi kepada MPR dan hanya akan mematuhi konstitusi.
Dengan demikian ketika amandemen terlaksana, bukan tak mungkin Jokowi berubah pandangan dan menerima amanah konstitusi baru yang memperpanjang jabatan presiden.
"Di titik tertentu bahasa pak Jokowi sangat bersayap. Karena pak Jokowi masih mengatakan memang tidak menginginkan maju untuk ketiga kali menjadi presiden, tetapi menggunakan kalimat yang akhirnya dengan kata bahwa hak konstitusi hanya menginginkan atau mengamanahkan dua periode. Artinya kalau diamanahkan tiga periode bisa saja presiden berkata berbeda," ucap Feri, ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (2/9/2021).
Baca juga: Sekjen PBB: Jokowi Tolak Wacana Presiden 3 Periode dan Amandemen Terbatas
Menurutnya dalam situasi ini presiden harus mampu memberikan ketegasan dan kejelasan.
Jika tegas, dia menilai seharusnya Jokowi mampu menutup polemik perpanjangan masa jabatan dengan ajakan tidak mengubah konstitusi.
"Dia harusnya mengatakan, di masa covid ini fokus penanganan pandemi, mari tidak ubah konstitusi. Yang artinya itu tutup buku soal perpanjangan masa jabatan. Itu baru tegas dan jelas," ucapnya.
Selain itu, dia menilai wacana amandemen terbatas tidaklah masuk akal, termasuk isu perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Sebab bertambahnya kewenangan MPR tentu akan menimbulkan konsekuensi pada kelembagaan negara lain.
PPHN disebutnya akan menjadi tafsir politis terhadap ketentuan UUD yang harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara lainnya dan akan mempengaruhi berbagai pasal-pasal yang berkaitan dengan lembaga-lembaga negara lain itu.
Wacana amandemen terbatas, kata Feri, juga bukan tanpa kendala. Yang paling jelas adalah belum adanya kajian yang disyaratkan untuk menjadi usul perubahan.
"Kajian itu berupa pasal dan alasan perubahan dari pasal-pasal konstitusi yang ingin dilakukan," katanya.
Belum lagi, dia menilai amandemen haruslah ditandatangani atau diusulkan oleh sekitar 237 orang anggota MPR/DPR/DPD alias sepertiga dari anggota parlemen, sebagaimana disyaratkan dan ditentukan oleh Pasal 37 UUD 1945.
"Jadi tidak bisa serta merta Ketua MPR dengan percaya diri menyatakan telah ada usul perubahan konstitusi tanpa kemudian adanya surat atau kajian terkait perubahan konstitusi tersebut," ucapnya.