Komnas HAM Didesak Selidiki Pembunuhan Munir Dalam Kerangka UU HAM dan Pengadilan HAM
Kasus tersebut, kata dia, bukan pembunuhan sebagaimana dijelaskan dalam KUHP pasal 338 dan 340 yang tergolong dalam kejahatan biasa.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
Hal tersebut disampaikannya dalam Konferensi Pers 17 Tahun Kematian Munir pada Selasa (7/9/2021).
"Jadi Komnas HAM mestinya mengambil sikap yang tegas dengan menyelidiki peristiwa ini dalam kerangka UU HAM maupun UU pengadilan HAM. Memeriksanya dalam kategori extrajudicial killing di dalam UU HAM atau memeriksanya dalam kategori kejahatan kemanusiaan di dalam UU Pengadilan HAM. Dua-duanya merupakan kejahatan luar biasa," kata Usman.
Menurutnya setidaknya ada empat hal yang membuat hal tersebut menjadi penting dilakukan oleh Komnas HAM.
Pertama, kata dia, dengan memeriksa pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat maka perkara itu tidak dapat dianulir hanya karena ada ketentuan daluarsa di dalam hukum pidana.
Hukum pidana, lanjut dia, hanya mengatur dan mengikat hukum-hukum yang berkaitan tindak pidana biasa.
"Jadi alasan daluarsa itu atau kewajiban menuntut pelaku yang hapus karena daluarsa, 18 tahun, itu tidak bisa diberlakukan untuk bentuk tindak pidana yang luar biasa, extraordinary crimes," kata dia.
Kedua, kata Usman, proses hukum kasus pembunuhan Munir ke depan juga tidak bisa dihalangi hanya karena orang-orang yang hendak diadili kembali mengatakan bahwa mereka pernah diadili dan karena itu tidak bisa diadili untuk kedua kalinya.
Di dalam hukum pidana, lanjut dia, seseorang memang tidak boleh dituntut atau diadili kedua kalinya yang dalam hukum pidana internasional dikenal sebagai nebis in idem atau double jeopardy.
Baca juga: Eks Sekretaris TPF Pembunuhan Munir Ingatkan Rekomendasi yang Belum Dijalankan Pemerintah
"Di dalam kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana, double jeopardy atau nebis in idem, atau tidak bisanya seseorang dituntut untuk kedua kalinya, itu tidak berlaku," kata Usman.
Ketiga, kata dia, pemeriksaan pembunuhan Munir dalam perspektif kejahatan luar biasa, apakah itu pelanggaran berat HAM menurut UU HAM atau pelanggaran HAM yang berat menurut UU Pengadilan HAM tidak bisa dianulir pertanggung jawaban seseorang hanya karena ia mengatakan "saya diperintahkan oleh pimpinan atau kepala negara selaku atasan tertinggi saya ketika itu".
Keempat, lanjut dia, seandainya ada upaya pemerintah untuk memutihkan kasus Munir, misalnya memberi pengampunan pada para pelaku, juga tidak bisa diberlakukan di dalam kejahatan luar biasa.
"Kesimpulannya, pemeriksaan pelanggaran HAM yang berat di dalam perkara Munir atau pelanggaran berat terhadap HAM dalam perkara Munir sangat diperlukan supaya Komnas, supaya perkara ini tidak berhenti karena alasan daluarsa, supaya tidak terhambat karena alasan nebis in idem atau double jeopardy, supaya tidak terhambat alasan perintah atasan superior order, dan supaya di kemudian hari ia tidak diputihkan oleh pemerintah," kata Usman.