Banyak Kepentingan Politik, Fadli Zon Nilai Tak Ada Urgensi MPR Lakukan Amandemen UUD 1945
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai tak ada urgensi untuk melakukan amendemen UUD 1945.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai tak ada urgensi untuk melakukan amendemen UUD 1945.
Sebab, menurut Fadli saat ini banyak kepentingan politik yang melatarbelakangi wacana perubahan UUD 1945, selain isu utama mengenai perlunya kembali negara memiliki haluan.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual bertajuk 'Menimbang Urgensi Amandemen UUD 1945 Edisi Kelima: Perlukah?', Sabtu (11/9/2021).
"Kalau kita letakkan dalam konteks politik hari ini terlalu banyak kepentingan yang berbeda. Formalnya itu soal PPHN, perlunya pengganti dari GBHN yang ketika itu sudah ada Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 2004," kata Fadli.
Baca juga: Wacana Amandemen, Mahyudin: Jangan Terjebak PPHN Tapi Penguatan Bikameral
Fadli mencontohkan, dari sisi kelembagaan sudah pasti ada kepentingan yang dimunculkan.
Misalnya DPD yang ingin memperkuat posisinya dalam sistem bikameral.
Begitu pula MPR yang menginginkan adanya arah kebijakan pembangunan bangsa dalam PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara).
Belum lagi isu atau wacana yang sengaja disisipkan oleh kelompok tertentu.
"Kita ini bukan orang baru di Indonesia sudah lama kita menjadi orang Indonesia. Nanti proses itu tiba-tiba terjadi pembelokan, akhirnya bukan sekedar PPHN bisa saja perubahan pasal terkait masa jabatan presiden dua periode atau ada keinginan lain karena itu sudah dilontarkan oleh beberapa pihak yang mempunyai suara di dalam MPR," ujar Fadli.
Baca juga: Pengamat: Rakyat Butuh Makan, Bukan Amandemen UUD 1945
Anggota Komisi I DPR RI itu menilai sangat berbahaya jika terjadi pembajakan dalam proses amendemen.
Apalagi, disusupi kepentingan jangka pendek oleh kelompok-kelompok oligarki.
Padahal, Fadli meyakini bahwa mayoritas rakyat saat ini tidak menginginkan adanya perubahan konstitusi.
"Saya kira masyarakat umumnya pasti menolak karena tahu di balik rencana ini ada sebuah rencana-rencana lain yang tidak sejalan dengan priroritas yang seharusnya dikedepankan, prioritas menghadapi pandemi, ekonomi dan seterusnya," tandas Fadli.