Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Bamsoet Tegaskan MPR RI Tak Pernah Melakukan Pembahasan tentang Masa Jabatan Presiden dan Wapres

MPR RI tidak pernah melakukan pembahasan apapun untuk mengubah pasal 7 UUD NRI 1945, yang mengatur tentang masa jabatan presiden dan wapres.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Bamsoet Tegaskan MPR RI Tak Pernah Melakukan Pembahasan tentang Masa Jabatan Presiden dan Wapres
MPR RI
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan dalam konsepsi negara demokratis, amandemen Undang-Undang Dasar bukanlah sesuatu hal yang tabu.

Bahkan negara Amerika Serikat yang telah sekian lama menjadi rujukan global dalam implementasi sistem demokrasi, telah melakukan amandemen konstitusi sebanyak lebih dari 27 kali.

Hal itu disampaikan Bamsoet saat menjadi keynote speech diskusi 'Menakar Urgensi Amandemen UUD NRI Tahun 1945' yang diselenggarakan Ikatan Alumni Fakul Hukum Universitas Padjajaran secara virtual, Kamis (16/9/2021).

"Idealnya, konstitusi yang kita bangun dan perjuangkan adalah konstitusi yang 'hidup' (living constitution), sehingga mampu menjawab segala tantangan zaman. Serta konstitusi yang 'bekerja' (working constitution), yang benar-benar dijadikan rujukan dan dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," kata Bamsoet.

Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, agar konstitusi 'hidup' dan 'bekerja' maka konstitusi tidak boleh 'anti' terhadap perubahan.

Perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan terhindarkan. Karena hanya satu hal yang tidak akan pernah berubah, yaitu perubahan itu sendiri.

Baca juga: Ketua MPR: Masa Jabatan Presiden 3 Periode Lebih Banyak Mudaratnya

Berita Rekomendasi

"Tugas kita adalah memastikan bahwa perubahan tersebut adalah perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Tentunya dengan tetap memastikan kelestarian nilai-nilai luhur yang menjadi original intent para founding fathers dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Termasuk dalam merumuskan naskah konstitusi," ucap Bamsoet.

Bamsoet tidak menampik adanya kekhawatiran sebagian kalangan yang curiga amandemen terbatas UUD NRI 1945, akan membuka peluang melakukan amandemen pada beragam substansi lain di luar Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Bentuk kekhawatiran tersebut, misalnya, mengenai penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode.

"Menyikapi isu ini, saya perlu menegaskan bahwa MPR RI tidak pernah melakukan pembahasan apapun untuk mengubah pasal 7 UUD NRI 1945, yang mengatur tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden. Isu tersebut tidak pernah dibahas di MPR, baik dalam forum rapat pimpinan, rapat-rapat alat kelengkapan MPR, ataupun rapat gabungan pimpinan MPR dengan pimpinan fraksi," ujarnya.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan, jalan menuju perubahan UUD NRI 1945 bukanlah jalan yang mulus.

Tetapi, jalan yang terjal dan berliku. Untuk mengusulkan perubahan pasal-pasal di dalam UUD NRI 1945 diperlukan sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR atau 237 pengusul.

"Sebelum diagendakan dalam Sidang Paripurna MPR, usulan tersebut harus diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Selain, melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR. Dengan demikian, tidak terbuka peluang untuk menyisipkan gagasan amandemen di luar materi yang sudah teragendakan," ucapnya.

Baca juga: Respons Jubir Presiden, Moeldoko Hingga Indeks 98 Soal Pendapat Pejabat Publik Dinilai Antikritik

Bamsoet menambahkan, kuorum rapat untuk membahas usul perubahan harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR, yaitu 474 anggota. Dan, usul perubahan harus disetujui oleh 50 persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR, yaitu 357 anggota.

"Namun yang harus disadari bersama, perubahan UUD NRI 1945 bukanlah semata-mata perhitungan matematis, sebagaimana diatur di dalam pasal 37 UUD NRI 1945."

"Jauh lebih penting adalah terbangunnya konsensus dan harmonisasi seluruh kekuatan politik. Bukan dengan pendekatan politik praktis ataupun kecurigaan dan kebencian. Untuk itu diperlukan sikap kenegarawan kita dengan senantiasa mengutamakan kepentingan yang lebih besar, kepentingan bangsa dan negara yang kita cintai bersama," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas