Perlunya Penerapan Business Judgement Rule dan Administrasi Keuangan Negara dalam Tata Kelola BUMN
BUMN menjadi perpanjangan tangan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat, namun di sisi lain sebagai entitas perusahaan BUMN wajib untung
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki konsepnya adalah “kepemilikan” (privat) dan bukan “penguasaan” sehingga negara berkedudukan sebagai pemegang saham atau sebagai pemilik modal, bukan berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan publik atau pengelola keuangan negara pada umumnya.
Oleh sebab itu, penyertaan modal negara dilakukan pemisahan dengan maksud agar tata kelola dan tata tanggung jawab termasuk hak dan kewajibannya berpisah dan berpindah kepada BUMN, tidak kepada negara atau APBN.
Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr Dian Puji Nugraha Simatupang SH MH mengatakan, sebagai pemegang saham, negara tidak sedang mengelola keuangan publik untuk mencapai tujuan bernegara layaknya kementerian atau lembaga, tetapi sedang berbisnis sehingga penilaiannya bukan authority judgement, tetapi business judgement.
"Pun dengan demikian halnya terhadap Anak Usaha BUMN, negara tidak mempunyai hak mengelolanya, karena hak negara sebagai badan hukum publik hanya mendirikan BUMN.
Jika negara menginginkan Anak Perusahaan tunduk pada ketentuan mengenai pengurus dan pertangungjawabannya.
Baca juga: Surati Jokowi, Serikat Pekerja Global Tolak Pembentukan Holding dan Privatisasi BUMN Kelistrikan
Negara harus mempunyai saham langsung, dan tidak dapat langsung ikut campur melalui tangan publiknya, karena menyalahi asas contrarius actus," katanya saat Webinar bertajuk ‘Penerapan Business Judgement Rule dan Administrasi Keuangan Negara dalam Tata Kelola BUMN’ secara daring, Kamis (16/9/2021).
Dian juga menyoroti terkait ketidakpastian hukum (legal uncertainty) yang berpotensi terjadi dalam BUMN yakni terpenuhinya unsur merugikan negara sehingga keputusan bisnis, kebijakan korporat dan tindakan usaha yang dianggap keliru merupakan kerugian negara.
Dalam keseSementara Wardaya, S.H., M.H, Partner K&K Advocates menjelaskan, Business Judgement Rule (BJR) merupakan peraturan yang membebaskan manajemen dari tanggung jawab dalam transaksi korporasi yang dilakukan dalam kekuasaan korporasi dan wewenang manajemen, dimana terdapat dasar yang masuk akal untuk menunjukkan bahwa transaksi dilakukan dengan hati-hati dan itikad baik.
"Doktrin BJR bertujuan melindungi direksi selama dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik. Prinsip BJR pun tersirat dalam Pasal 97 ayat 2 UU PT, yakni prinsip kehati-hatian dan Itikad baik. Lalu dalam Pasal 5 ayat 3 UU BUMN menegaskan soal prinsip BJR dalam unsur GCG (good corproate governance)," urai Wardaya.
Dia menambahkan, UU PT juga mengatur bahwa Direksi dapat dilindungi apabila kebijakan yang diambilnya dipandang tepat walaupun kemungkinan perseroan mengalami kerugian.
Lalu dalam Pasal 11 UU BUMN juga sudah ditegaskan bahwa terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi PT sebagaimana diatur dalam UU PT.
“Hal tersebut berakibat bahwa prinsip-prinsip yang berlaku untuk perseroan terbatas, berlaku juga untuk BUMN," kata Wardaya.
Aldi Andhika Jusuf, S.H., M.H., Partner K&K Advocates mengatakan, berdasarkan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), pengurus dan pegawai BUMN dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana atas dugaan tindak pidana korupsi karena menyebabkan kerugian keuangan negara.
“Hal inilah yang menjadi kekhawatiran direksi BUMN dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam mengelola, mengatur dan mengambil keputusan terkait dengan bisnis yang dijalankan BUMN sehari-hari,” ungkap Aldi Andhika Jusuf, S.H., M.H., Partner K&K Advocates.