Bacakan Pledoi, Pentolan KAMI Jumhur Hidayat Sebut Pemerintah Represif Terhadap Kritik Omnibus Law
Jumhur Hidayat mengatakan penolakan dan kritik masyarakat terhadap proses pembuatan UU Omnibus Law Cipta Kerja justru dianggap perbuatan kriminal.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong dan menimbulkan keonaran, Jumhur Hidayat menyampaikan nota pembelaan (pleidoi) atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat dalam pleidoinya mengatakan suara penolakan dan kritik masyarakat terhadap proses pembuatan UU Omnibus Law Cipta Kerja justru dianggap pemerintah sebagai perbuatan 'kriminal'.
Padahal menurut Jumhur, kritik masyarakat tersebut sejatinya mengingatkan pemerintah agar bertindak sesuai konstitusi.
Hal ini disampaikan Jumhur saat membacakan pleidoinya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (30/9/2021).
"Sebagaimana kita ketahui suara penolakan dan kritik masyarakat yang sejatinya mengingatkan pemerintah untuk bertindak berdasarkan konstitusi tidak digubris dan justru direpresi masif karena seolah dianggap perbuatan kriminal," kata Jumhur.
Baca juga: Pengacara Nyatakan Proses Hukum Terhadap Jumhur Hidayat Praktik Kriminalisasi Penguasa
Menurutnya tindakan represif pemerintah terhadap kemerdekaan berpendapat adalah sikap yang tak semestinya.
Karena itu, dia mengatakan jika kritik tak lagi dihargai, dan justru dibungkam atas nama hukum, maka hal tersebut harusnya jadi alarm keras tanda bahaya bagi demokrasi di negara hukum.
"Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi konstitusional, kemerdekaan berpendapat warga seharusnya mendapat penghargaan tinggi, mengingat kritik adalah nyawa demokrasi," kata dia.
Baca juga: Keberatan Dituntut 3 Tahun karena Berita Bohong, Jumhur: Cuitan Saya tidak Banyak Dibaca Orang
Dalam perkara ini, Jumhur Hidayat dinyatakan secara sah bersalah menyebarkan berita bohong sehingga membuat keonaran melalui postingan media sosial twitternya.
Jumhur dituntut pidana penjara 3 tahun.
Jumhur dituntut sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama primer.
Dalam penjatuhan tuntutannya, Jaksa menyatakan perbuatan Jumhur telah menimbulkan keresahan di masyarakat yang berakibat pada kerusuhan pada tanggal 8 Oktober 2020.