Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemerhati Hukum: Harusnya Pimpinan KPK yang Terbukti Melanggar Etika Mundur

Presiden Joko Widodo didesak segera memecat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbukti melanggar etika.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Pemerhati Hukum: Harusnya Pimpinan KPK yang Terbukti Melanggar Etika Mundur
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo didesak segera memecat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbukti melanggar etika.

Sebab, pelanggaran etika yang nyata dilakukan pimpinan KPK dipandang sebagai pertanda buruk merosotnya etika negara.

Selain itu, telah ada preseden sebelumnya, dimana Jokowi memberhentikan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang melanggar etika.

“Saya sedih melihat pemerintah, terutama Bapak Presiden, diam dan menarik diri dari penegakan etika di KPK. Pak Jokowi sudah dalam periode kedua, Anda nothing to lose, kenapa nggak berbuat sesuatu yang remarkable (luar biasa) yang membuat kita tetap hormat pada Anda?” tanya Guru Besar Universitas Sumatera Utara Prof Ningrum Sirait dalam webinar Anomali Penegakan Etika Penyelenggara Negara: Studi Kasus KPK, Jumat (8/10/2021).

Diskusi daring ini digelar Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA) dan Saya Perempuan AntiKorupsi (SPAK) Indonesia untuk mencari sanksi dan penegakan etika yang ideal pada kasus pelanggaran etik pimpinan KPK.

Setidaknya dua komisioner KPK telah melanggar etika.

Baca juga: KPK Limpahkan Berkas Perkara Eks Dirut PD Sarana Jaya Yoory Corneles ke Pengadilan Tipikor

Berita Rekomendasi

Ketua KPK Firli Bahuri menerima diskon penyewaan helikopter untuk pulang ke kampungnya.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar berkomunikasi dengan tersangka korupsi eks Wali Kota Tanjungbalai Muhamad Syahrial di tengah penanganan perkara.

Dewan Pengawas KPK hanya menegur Firli secara tertulis, dan menjatuhkan sanksi pemotongan gaji untuk Lili.

Dalam riset psikologi kognitif korupsi Kendra Dupuy dan Siri Neset dari CHR Michelsen Institute, organisasi yang membiarkan pelanggaran etika atau menegakkan sanksinya secara tidak konsisten akan mengalami pemudaran etika atau ethical fading.

Apabila pelanggaran etika dibiarkan terus-menerus, justru berpotensi menjadi nilai baru dalam organisasi tersebut.

Baca juga: KPK Beri Pembekalan Antikorupsi kepada Penyelenggara Negara di Kementerian Perdagangan

Artinya, nilai dan perilaku dari organisasi secara menyeluruh akan melanggar etika masyarakat.

Ningrum mengaku sangat khawatir jika pemudaran etika terjadi di Indonesia, dengan kasus pelanggaran etika di KPK sebagai pemicunya.

“Kalau dibiarkan terus menerus, orang lupa yang benar sebenarnya apa ukurannya dan siapa. Apakah kita semua akan menjadi the sick society?” ucapnya.

Ia juga menyoroti nurani para petinggi KPK.

“Komisioner dan Dewan Pengawas KPK, berbunyikah sanubari Anda melihat kondisi ini? Kalau Bapak-Ibu masih tidur nyenyak, Anda membiarkan absurditas ini. Anda yang membiarkan degradasi moral lembaga terjadi, mendiamkannya, menganggap anomali atau absurditas suatu kenormalan, bisa jadi Anda-lah pendukung dan crime maker-nya," imbuhnya.

Baca juga: Rekrutmen 57 Eks Pegawai KPK Sarat Pelanggaran, Polri Pastikan Prosesnya Tak Menentang Aturan

Menurut Yosep Stanley Adi Prasetyo, pemerhati hukum dan mantan Anggota Dewan Etik KPAI, penegakan etika di KPK terbilang lemah.

“Kalau pimpinan KPK memegang teguh moral dan etika, maka inisiatif memutus rantai korupsi harusnya dimulai dari diri sendiri. Kalau dia melanggar, dia bilang saya tidak layak untuk memimpin, lalu mundur,” ucapnya.

Ia juga menyayangkan penanganan pelanggaran etika di KPK yang hanya dilakukan pihak internal, yakni Dewan Pengawas KPK.

Pasalnya, penyelesaian internal seperti itu tak bisa melampaui aturan internal.

Sedangkan kalau melibatkan unsur eksternal seperti Dewan Etik KPAI yang dibentuk ad hoc, penanganannya tak cuma bersandar pada aturan internal, tapi juga menyerap nilai etika publik dan mendengarkan pandangan dari luar.

Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Mayling Oey-Gardiner, menyoroti peran Dewan Pengawas KPK pada sanksi ringan pelanggaran etika.

“Dewan Pengawas harus dipertanyakan, mengapa mereka hanya memberi sanksi seperti itu?” ujarnya.

Mayling mengingatkan, pada masa Orde Baru korupsi pun merajalela dengan adanya uang dari minyak dan sumber daya alam lainnya yang berlimpah.

Namun akibatnya, rakyat harus menderita.

Kini, derita itu kembali harus ditanggung rakyat Indonesia.

Adapun Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Bagus Takwin, berpendapat ada banyak dampak buruk jika suatu organisasi melanggar etika.

“Lembaganya akan kehilangan kepercayaan masyarakat. Moral dan produktivitas organisasi secara umum juga turun, karena bawahan melihat pimpinan melanggar etika tanpa hukuman berarti, lalu ikut melanggar etika. Lama-lama, mereka putus hubungan dengan moral, atau disebut moral disengagement,” katanya.

“Kalau ada yang bilang korupsi adalah oli pembangunan, itu salah satu indikasi moral disengagement. Saat yang melanggar aturan makin banyak, kerugian negara makin besar dan signifikan," tambahnya.

Komika Sakdiyah Ma'ruf pun urun suara dengan memberikan sebuah analogi.

"Pandemi ini kalau pabrik banyak yang kehilangan pesanan, jadi harus mem-PHK pekerjanya. Sementara KPK saat pandemi malah makin laris karena sedihnya kasus korupsi makin ramai, tapi aparatnya kok malah dipecatin? Yang cincai sama koruptor malah nggak dipecat. Ini ibarat kolesterol tinggi, diinfus minyak jelantah bekas goreng cakwe. Runyam!” ujarnya berseloroh.

“Padahal uang yang dikorupsi itu harusnya bisa untuk membiayai tunjangan hamil untuk semua perempuan, pelindungan korban kekerasan, dan banyak lagi. Selamatkan bangsa kita. Perempuan pulihkan KPK!” katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas