BREAKING NEWS: Pemerintah Turunkan Tarif Tes PCR Jadi Rp 300 Ribu
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar harga tes virus corona (Covid-19) dengan metode PCR dapat diturunkan.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh karena itu dia menyarankan agar tes PCR tak lagi digunakan bagi pengguna transportasi udara.
"Sulit rasanya harus menunggu 1x24 jam. Jadi cukup antigen saja untuk penumpang pesawat, tidak perlu PCR agar konsumen tidak tereksploitasi," kata Tulus.
Sebelumnya, pemerintah lewat Surat Edaran Satgas Covid-19 No. 21 Tahun 2021 menetapkan syarat wajib tes PCR bagi penumpang pesawat penerbangan wilayah Jawa-Bali serta wilayah PPKM Level 3 dan 4. SE yang diterbitkan Kamis (21/10) itu mengikuti aturan di Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 53 Tahun 2021.
Kebijakan ini membatalkan aturan sebelumnya yang mengizinkan penumpang pesawat dites antigen jika sudah divaksinasi dosis penuh.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan penyesuaian kebijakan ini tujuannya uji coba pelonggaran mobilitas dalam meningkatkan produktivitas masyarakat dengan penuh kehati-hatian.
Kebijakan ini yang kemudian menuai banyak kritik karena biaya tes PCR dinilai cukup mahal. Meskipun pada Agustus lalu Presiden Joko Widodo meminta harga PCR diturunkan menjadi kisaran Rp 495 ribu - Rp 525 ribu, harganya masih tergolong tinggi.
Apalagi jika dibandingkan biaya rapid tes yang berada di kisaran Rp 85 ribu hingga Rp 125 ribu.
PCR sendiri adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus.
Saat ini PCR juga digunakan mendiagnosis penyakit Covid-19 yaitu dengan mendeteksi material genetik virus Corona, meski tak sepenuhnya akurat.
Tulus menilai kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat ini diskriminatif karena memberatkan dan menyulitkan konsumen.
"Diskriminatif, karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen, bahkan tidak pakai apapun," katanya.
Tulus menyebutkan syarat wajib PCR sebaiknya dibatalkan atau minimal direvisi. Misalnya, waktu pemberlakuan PCR menjadi 3x24 jam, mengingat di sejumlah daerah tidak semua laboratorium PCR bisa mengeluarkan hasil cepat.
"Atau cukup antigen saja, tapi harus vaksin dua kali. Lalu turunkan HET PCR kisaran menjadi Rp 200 ribuan," imbuhnya.
Tulus juga meminta kebijakan soal syarat penumpang pesawat terbang benar-benar ditentukan secara adil.
"Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak pihak tertentu yang diuntungkan," kata Tulus.
Senada dengan YLKI, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setidjowarno mengungkapkan selama ini banyak lab kesehatan yang memaksimalkan keuntungan dari PCR.
Djoko pun menilai kewajiban PCR bagi penumpang pesawat seharusnya bisa dihapuskan.
Jika hal itu bisa dilakukan, ia meyakini bisnis angkutan udara bisa kembali membaik.
"Kalau mau perbaiki bisnis udara, ya hilangkan saja (syarat PCR) atau dibayarkan oleh pemerintah. Lagipula harganya beda-beda. Bahkan di beberapa tempat juga ditawari surat hasilnya. Tes PCR juga tidak tersedia di semua tempat," ucap dia.
Djoko juga meminta pihak bandara memperbaiki layanan sebagaimana syarat penerbangan yang sudah ditentukan.
Misalnya saja, terkait aturan tes, pihak bandara dinilai tidak sigap menyiapkan fasilitas tes guna memudahkan penumpang.
"Jujur saja, pelayanan di bandara itu tidak jelas. Kalau di stasiun, untuk pemberangkatan jam 6 pagi, pelayanan tes sudah dibuka sejam sebelumnya. Kalau di bandara tidak jelas. (Tes) Genose saja antrenya panjang, bahkan saya pernah sampai satu jam. Ini membuat konsumen malas dan enggan bepergian (naik pesawat)," katanya.
Kebijakan wajib tes PCR bagi penumpang pesawat tak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga Epidemiolog Dicky Budiman.
Ahli Wabah dari Griffith University Australia itu mengungkapkan keheranannya mengapa aturan hanya berlaku untuk perjalanan udara, tetapi tidak pada moda transportasi lainnya seperti darat dan laut.
”Ini yang saya juga tidak mengerti dengan pasti argumentasi ilmiahnya. Karena kalau dari sisi kondisi risiko misalnya, pesawat itu paling kecil [risikonya] dibandingkan dengan moda transportasi lainnya,” ungkap Dicky, Sabtu (20/10).
Menurut Dicky, pesawat masih jauh lebih aman dibandingkan bus atau kereta api.
Ia mengatakan, sirkulasi udara di pesawat jauh lebih baik dibandingkan kedua moda transportasi itu.
Saringan udara di pesawat bisa mencapai 20 kali putaran dalam waktu 1 jam saja.
“Sekarang ini dengan PCR untuk pesawat, kalau mau bicara keamanan, ya, memang benar, [PCR] ideal. Tapi masalahnya, mampu tidak masyarakat bayarnya?” kata dia.
Dicky menyebut harga tes PCR yang tinggi juga akan menyulitkan masyarakat, terlebih yang berangkat sekeluarga penuh.
”Kalau misal harganya hampir sama dengan tiketnya, ya, kan itu mah beda lagi. Apalagi, ini yang perginya berlima: anaknya, istrinya, bapaknya, itu beda lagi. Dari sisi strateginya, bukan hanya efektif. Ya, [tes PCR] efektif, tapi, cost-effective tidak? Kan, tidak,” paparnya.
Kata Dicky, tak hanya masyarakat yang akan merasa terbebani dengan aturan ini. Maskapai pun ada potensi terbebani.
”Bukan hanya masyarakatnya, maskapainya juga sanggup tidak? Apakah pilot dan kru pesawat tidak dites juga? Kan logikanya begitu. Kalau misal penumpang dites, lalu kru pesawat dan pilotnya tidak, ya, buat apa? Virus tidak milih-milih. Jadi ini akan ongkos juga buat maskapainya,” jelas dia.
Dicky berpendapat tes antigen sebagai alat screening penumpang sudah memadai.
Menurut dia, selain cost-effective karena harga yang terjangkau, sensitivitas dan spesifisitasnya juga efektif.
“Kenapa harus memilih yang membebani dan ongkosnya besar? Dalam situasi saat ini, semuanya esensial aja: secara standar semuanya terpenuhi, aman, dan efektif. Ya, itu antigen, cukup,” ujarnya.
Sumber: Kontan.co.id/Tribunnews.com